FAQ, FIQIH PUASA, RISALAH PUASA, I’TIKAF
Pertanyaan yang Sering Muncul di Bulan Ramadhan
“Bagaimana hukumnya seorang Muslimah yang minum obat penun-da haidh agar
tidak tertinggal puasa Ramadhan? Jika seseorang makan dan minum di
bulan Ramadhan karena lupa, apakah puasanya batal? Bolehkah melakukan
tranfusi darah ketika sedang berpuasa? Batalkah puasa orang yang
berdusta di bulan Ramadhan?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu hampir selalu muncul di setiap bulan
Ramadhan, khususnya pada acara dialog Ramadhan di radio dan televisi.
Biasanya pertanyaan demikian sudah dijawab oleh ustadz penyampai materi
pada acara bersangkutan. Namun pada tahun berikutnya biasanya akan
selalu muncul kembali.
Mungkin ada sebagian khalayak yang masih belum mengerti atau lupa atas
penjelasan terdahulu, sehingga terpaksa mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang sama. Pada tahun ini bukan tak mungkin hal yang sama kembali
ditanyakan orang.
Untuk itu kami mencoba merangkum berbagai tanya-jawab tentang
masalah-masalah tersebut dengan bersumber dari fatwa-fatwa ulama faqih.
Semoga berguna.
1. Makan Sahur
a. Apa hukumnya makan sahur, wajib atau sunnah? Syarat sah puasa atau bukan?
Isyarat tentang makan sahur terdapat dalam al-Quran dan Hadits berikut ini.
“Dan makan serta minumlah kamu sehingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
“Bersahurlah, karena dalam sahur itu ada berkah!” (Muttafaq alaihi dari Anas)
Kedua nash tersebut secara jelas menunjukkan perintah untuk makan sahur.
Tapi berdasarkan praktek yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya para
ulama mujtahid (yang berijtihad menentukan hukum) sepakat bahwa perintah
tersebut kadarnya sunnah, bukan wajib. Hal ini juga didukung oleh
banyaknya hadits lain yang menerangkan berbagai keutamaan ibadah makan
sahur antara lain membawa berkah dan mengundang rahmat Allah Swt,
didoakan para malaikat serta menguatkan tubuh. Dengan demikian, ia bukan
merupakan syarat sahnya puasa, karena tidak melaksanakannya pun tidak
apa-apa.
b. Sahur ketika Adzan
Seseorang terlambat sahur karena kesiangan. Ketika sedang makan
tiba-tiba terdengar adzan Shubuh. Apakah ia harus menghentikan makannya
atau terus?
Apabila jelas dan tegas bahwa adzan fajar itu dilakukan tepat pada
waktunya, sesuai dengan kalender negeri tempat orang tersebut berpuasa,
maka wajib atasnya meninggalkan makan dan minum seketika ia mendengar
adzan. Adapun jika ia mengetahui bahwa adzan itu dikumandangkan sebelum
masuk waktunya selama beberapa menit, atau setidak-tidaknya masih
diragukan, maka ia boleh makan atau minum sehingga ia yakin akan
terbitnya fajar.
Pada masa sekarang hal ini mudah diketahui dengan adanya kalender
(jadwal imsakiyah) dan jam yang terdapat hampir pada setiap rumah.
Pernah ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Abbas, “Saya makan
sahur, maka apabila saya ragu-ragu saya berhenti.” Ibnu Abbas menjawab,
“Makanlah selama engkau ragu-ragu, sehingga engkau tidak ragu-ragu
lagi.”
2. Makan atau Minum karena Lupa
Jika seseorang makan dan minum di bulan Ramadhan karena terlupa, apakah ibadah puasanya menjadi batal?
1
Apabila makan dan minumnya karena terlupa, puasanya tidaklah batal.
Makanan yang ia telan boleh dikatakan rizki dari Allah. Namun setelah
teringat bahwa ia sedang berpuasa, maka orang tersebut harus melanjutkan
puasanya pada hari itu hingga saat berbuka.
Hal ini telah dijelaskan dalam Haditas yang disampaikan Abu Hurairah
r.a, bahwa Nabi SAW pernah bersabda: “Barangsiapa lupa bahwa ia
berpuasa, lalu ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan
puasanya, karena sesungguhnya (pada waktu itu) Allah memberinya makan
dan minum.” (HR Bukhari dan Muslim)
Di dalam lafal Daruquthni dengan sanad shahih diriwayatkan: “Sebenarnya
itu adalah rizki yang diberikan Allah kepadanya, dan tidak ada kewajian
qadha atasnya” (HR Daruquthni)
Dan dalam lafal lain menurut riwayat Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, dan Hakim disebutkan: “Barangsiapa yang berbuka puasa Ramadhan
karena lupa, maka tidak wajib qadha atasnya dan tidak pula wajib
membayar kafarat.”
3. Mimpi dan Mandi Junub
a. Apakah mimpi dan mengeluarkan sperma serta mandi junub di siang hari Ramadhan membatalkan puasa?
Sesungguhnya bermimpi basah (mimpi yang disertai mengeluar-kan sperma)
tidak membatalkan puasa. Sebab hal itu di luar kemampuan dan kesadaran
manusia atau merupakan perbuatan yang tidak disengaja. Begitu pula mandi
jinabat tidak membatalkan puasa.
b. Bagaimana hukumnya manji junub setelah terbit fajar?
Orang-orang yang akan berpuasa diperbolehkan makan dan minum dan atau
bersenggama (jima’) pada malam hari sampai terbit fajar atau sebelum
masuk waktu shalat Shubuh. Sebagaimana diatur dalam Surat Al-Baqarah
ayat 187, sesudah waktu tersebut seseorang diperintahkan untuk tetap
berpuasa.
Dalam hal ini jika seseorang baru selesai bersenggama pada saat terbit
fajar, tentu mandi junubnya hanya dapat dilakukan setelah terbit fajar
atau setelah lewat waktu Shubuh. Sesuai dengan isyarat dalam ayat di
atas, maka ia tetap diwajibkan berpuasa. Dari sini dapat ditarik
kesimpulan bahwa diperbolehkan mandi junub setelah terbit fajar dan
puasanya tetap sah.
Hukum ini diperkuat dengan sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim Ibnu
Hiban dan Ibnu Khuzaimah dari ‘Aisyah bahwa suatu ketika seorang lelaki
datang kepada Rasul dan bertanya tentang mandi junub setelah fajar,
sementara ‘Aisyah mendengarkan dari balik tirai. Kemudian Rasul menjawab
bahwa beliau juga pernah mengalami hal serupa untuk menunjukkan bahwa
puasa orang itu tetap sah. Ada lagi satu hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah dan Ummu Salmah yakni: “Sesungguhnya
Nabi Saw ketika masuk Shubuh dalam keadaan junub setelah jima’ kemudian
mandi dan berpuasa.”
4. Puasa bagi Orang Tua, Wanita Hamil dan Menyusui, Orang Sakit, Musafir, Wanita serta Pekerja Berat
Bagaimana hukum puasa bagi orang yang lemah fisiknya, seperti orang
lanjut usia, orang sakit, musafir, wanita hamil dan menyusui serta
pekerja berat?
Orang lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan, jika merasa berat
(tidak mampu) berpuasa, mereka boleh tidak berpuasa. Sabda Rasululllah:
“Diberi rukhshah (keringanan) bagi orang lanjut usia untuk berbuka puasa
dan memberi makan orang miskin setiap harinya, serta tidak ada
kewajiban qadha’ atasnya.” (HR Daruquthni dan Hakim. Keduanya
mensahihkan)
Orang yang sakit di bulan Ramadhan boleh tidak berpuasa, namun wajib
mengganti (qadha’) di luar bulan Ramadhan, sebanyak hari yang
ditinggalkan. Firman Allah swt: “Dan barang siapa yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu berbuka) maka wajib baginya puasa sebanyak hari 2
yang ditinggalkannya itu pada hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al
Baqarah: 185)
Adapun musafir (orang yang melakukan perjalanan), mereka adalah orang
yang oleh Allah diberi keringanan untuk meninggalkan puasa sebagaimana
diatur dalam ayat al-Quran di atas dan Hadits berikut: “Sesungguhnya
Allah menggugurkan puasa dari musafir dan separuh shalatnya,
menggugurkan puasa dari wanita hamil dan menyusui.” (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)
Dalam hadits tersebut juga tertera dalil bagi wanita hamil dan menyusui.
Seperti musafir mereka juga merupakan golongan orang-orang yang berhak
menerima rukhsah (keringanan) untuk meninggal-kan puasa. Di sini tidak
dibedakan antara yang hamil tua atau muda, sebab umumnya kondisi mereka
lemah. Begitu pula wanita menyusui. Oleh karena itu sesuai dengan
prinsip Syariat Islam yang luwes dan bijaksana ini mereka diperbolehkan
berbuka atau meninggalkan puasa.
Tentang penggantian puasanya, apabila puasa itu mengkhawatir-kan
keselamatan dirinya saja maka mayoritas ulama membolehkan mereka tidak
puasa tapi wajib mengqadhanya saja tanpa membayar fidyah. Dalam hal ini
kedudukan mereka sama dengan orang sakit. Kalau puasa itu
mengkhawatirkan anaknya maka mereka boleh tidak puasa tapi ulama berbeda
pendapat tentang penggantiannya. Apakah mereka hanya wajib qadha atau
bayar fidyah saja, atau kedua-duanya.
Dr. Yusuf Qardhawi cenderung untuk memfatwakan bahwa mereka cukup
membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin saja dan tidak usah
mengqadha. Tapi keringanan ini lebih ditujukan bagi wanita yang setap
tahun hamil atau menyusui sehingga tidak sempat mengqadha. Misalnya pada
bulan puasa tahun ini ia hamil, tahun depan menyusui. Kemudian tahun
depannya hamil dan menyusui lagi. Kalau wanita seperti ini diwajibkan
untuk mengqadha puasa berarti harus bepuasa secara terus-menerus. Hal
ini tentu saja menyulitkan, padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan.
Adapun bagi pekerja berat, mereka dapat diklasifikasikan dalam dua
bagian. Pertama, pekerja berat yang sifatnya kontinyu sehigga tidak
mempunyai waktu luang untuk mengqadha lantaran sehari-hari pekerjaannya
keras dan kasar. Sebagai gantinya mereka harus membayar fidyah
sebagaimana firman Allah: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya, membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin.”
(Al-Baqarah:184)
Kedua, pekerja berat yang sifatnya temporer yang masih memiliki waktu
luang untuk melakukan qadha. Karenanya mereka ini wajib mengqadha
puasanya sebagaimana orang sakit yang masih diharapkan sembuh dan
musafir.
5. Puasa Orang yang Meninggalkan Shalat
Bagaimana hukumnya orang berpuasa tapi tidak shalat? Apakah
ibadah-ibadah itu saling berkaitan sehingga yang satu tidak diterima
bila yang lain ditinggalkan?
Mengenai masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat
kafir terhadap orang yang meninggalkan salah satunya, ada yang
menganggap kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat dan tidak
mengeluarkan zakat, dan ada pula yang menganggap kafir terhadap orang
yang meninggalkan shalat saja mengingat kedudukannya yang sangat penting
dalam agama, selain juga didasarkan pada hadits Rasulullah Saw:” (Hal
yang membeda-kan) antara seseorang dengan kekafiran ialah meninggalkan
shalat.” (HR Muslim)
6. Membatalkan Puasa dengan Sengaja
Apa hukumnya orang yang membatalkan puasa dengan sengaja?
Menahan lapar, haus, dorongan seks, tidak merokok dan segala yang
membatalkan puasa pada bulan Ramadhan adalah pekerjaan yang sangat berat
bagi orang yang tidak memiliki iman dan tidak menyadari manfaat puasa
serta kerugian meninggalkannya. Satu hari dari bulan Ramadhan tidak
dapat digantikan kecuali oleh satu hari dari bulan Ramadhan yang lain.
3
Sedangkan pada setiap bulan Ramadhan seorang Muslim senantiasa mempunyai
kewajiban berpuasa, dan kewajiban ini tidak mungkin dapat dihindarkan.
Oleh karena itulah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud
mengatakan: “Barangsiapa yang tidak berpuasa selama satu hari dari bulan
Ramadhan tanpa ada rukhshokh untuknya, maka tidaklah ia dapat
menggantinya meskipun dengan puasa setahun.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu
Majah dari Abu Hurairah)”
Begitulah gambaran puasa yang jika ditinggalkan dengan sengaja tanpa
alasan yang dibolehkan agama akan berakibat buruk bagi pelakunya. Sampai
ditebus dengan puasa seumur hidup pun tidak bisa karena begitu besar
dosanya.
7. Berkumur dan Memasukkan Air ke Hidung
Benarkah berkumur dan istinsyaq (memasukkan air ke hidung) dalam berwudlu mempenga-ruhi keabsahan puasa?
Berkumur-kumur atau beristinsyaq (memasukkan air ke hidung) dalam
berwudlu itu ada yang mengatakan sunnah sebagaimana madzhab 3 orang
imam, yitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Ada juga yang
berpendapat fardhu sebagaimana Imam Ahmad yang mengang-gapnya sebagai
bagian dari membasuh muka. Terlepas apakah hal ini sunnah atau wajib,
maka seyogyanya berkumur dan ber-istinsyaq dalam berwudlu janganlah
ditinggalkan, baik saat puasa ataupun tidak. Hanya saja, pada waktu
berpuasa janganlah memasukkan air terlalu dalam ke rongga hidung seperti
halnya ketika tidak berpuasa.
“Apabila engkau beristinsyaq, maka bersungguh-sungguhlah kecuali jika
engkau sedang berpuasa.” (HR Syafi’I, Ahmad, Imam yang empat dan
Baihaqi)
Orang yang berkumur-kumur dan melakukan istinsyaq saat berwudlu kemudian
secara tidak sengaja ada air yang masuk ke tenggorokannya maka puasanya
tetap sah. Hal ini juga sama jika tanpa sengaja kemasukan debu, tepung,
ataupun lalat yang masuk ke tenggorokannya. Kesemua itu merupakan
ketidaksengajaan yang dimaafkan, meskipun ada sebagian ulama’ yang
menentang pendapat ini. Begitu pula berkumur-kumur di luar wudhu juga
tidak mempe-ngaruhi kesahihan puasa asalkan airnya tidak masuk ke perut
(karena sengaja dan berlebihan).
8. Haidh yang Melebihi Batas
Bagaimana dengan wanita yang haidhnya melebihi masa normal haidh?
Pada dasarnya yang melebihi dari batasan tertentu masa haidh itu adalah
darah istihadhah (darah kotor). Dalam masalah ini, harus diperhatikan
saat mana wajib meninggalkan puasa serta mengqadha’nya karena darah
haidh, dan saat mana tetap wajib berpuasa karena darah istihadhah. Dan
lantaran ada berbagai alternatif, maka dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Pertama: Jika lama haidh wanita itu dapat ditentukan setiap bulan
sebelumnya, misal 6 hari, maka darah yang keluar selebihnya dari waktu
tersebut dapat dinyatakan sebagai darah istihadhah, sehingga setelah 6
hari itu tetap wajib berpuasa sebagaimana biasa.
b. Kedua: Jika lama haidh wanita itu tidak dapat ditentukan setiap bulan
sebelumnya, atau bahkan belum pernah haidh. Maka darah yang keluar
harus dapat dibedakan antara darah haidh dan istihadhah dengan ciri
masing-masing. Darah haidh bercirikan pada warna yang agak kehitaman,
kental dan baunya menyeruak tajam. Sedangkan darah istihadhah agak
kekuningan, lebih cair dan baunya sebagaimana darah biasa. Ketika darah
yang keluar itu telah bercirikan darah istihadhah, maka wanita itu telah
wajib berpuasa.
c. Ketiga: Jika lama haidh wanita itu tidak dapat ditentukan setiap
bulan sebelumnya, atau belum pernah haidh, sedangkan darahnya sendiri
tidak dapat dibedakan. Maka yang dinyatakan sebagai darah haidh
diperkirakan sebanyak hari yang menjadi kebiasaan wanita pada umumnya,
yakni 6 atau 7 hari. Sehingga selebihnya dinyatakan sebagai darah
istihadhah, yang berarti sesudah masa 6-7 hari itu ia wajib berpuasa.
4
9. Minum Obat Penunda Haidh
Bolehkah seorang Muslimah meminum obat penunda haidh agar tidak tertinggal puasa Ramadhannya?
Muslimah yang kedatangan haidh pada bulan Ramadhan adalah tidak wajib
untuk melaksanakan puasa pada bulan itu dan wajib mengqadhanya pada
bulan yang lain. Hal ini merupakan suatu kemurahan dari Allah dan
rahmat-Nya kepada wanita yang sedang haidh, karena pada waktu itu
kondisi badan seorang wanita sedang lelah dan urat-uratnya lemah.
Oleh sebab itu, dengan sungguh-sungguh Allah mewajibkannya agar berbuka,
bukan sekedar membolehkan. Apabila ia berpuasa, maka puasanya tidak
akan diterima dan tidak dipandang mencukupi. Dia tetap wajib
mengqadhanya pada hari-hari lain sebanyak hari-hari ia tidak berpuasa,
sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah r.a., ia berkata: “Kami diperintah
mengqadha puasa dan tidak diperintah mengqadha shalat.” (HR Bukhari)
Sesungguhnya keluarnya darah haidh merupakan perkara thabi’i (kebiasaan)
dan fitrah bagi setiap wanita, karena itu hendaklah dibiarkan berjalan
sesuai dengan fitrahnya sebagaimana ia diciptakan oleh Allah. Namun
demikian, jika ada wanita Muslimah menggunakan pil untuk mengatur
(menunda) waktu haidnya sehingga ia dapat terus berpuasa pada bulan
Ramadhan, hal ini tidak terlarang, dengan syarat pil tersebut dapat
dipertanggungjawabkan tidak akan menim-bulkan mudharat baginya.
Untuk mengetahui hal ini, sudah tentu harus dikonsultasikan dulu dengan
dokter ahli kandungan/kebidanan. Apabila dokter menyatakan bahwa bahwa
penggunaan pil tersebut tidak membahayakan terhadap dirinya, maka ia
boleh menggunakannya.
10. Berbuat Dosa saat Puasa
Bagaimana jika berbuat dosa, misalnya berdusta, ketika sedang berpuasa?
Secara syar’i sesuatu ibadah itu dipandang sah jika telah terpenuhi
syarat dan rukunnya serta terhindar dari segala yang membatalkan-nya.
Menahan diri dari perbuatan dosa bukan syarat dan rukun puasa. Maka
perbuatan dosa bukanlah sesuatu yang membatalkan puasa. Puasanya itu
sendiri tetap sah, walaupun demikian pahalanya berkurang atau gugur. Sah
di sini adalah dalam pengertian, cukup untuk menuhi kewajiban dan tidak
wajib mengqadhanya pada hari yang lain. Sabda Rasul Saw:
“Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan batil,
maka di sisi Allah tidaklah ia berguna meninggalkan makan dan minumnya
(puasanya).” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
“Banyak orang yang berpuasa, namun tiada baginya dari puasa itu melainkan lapar. (HR. Nasai dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Kedua hadits itu telah mengisyaratkan bahwa Allah tidak akan memberikan
pahala kepada orang yang berpuasa jika ia selalu berbuat dosa.
Logikanya, pahala orang yang berpuasa itu akan berkurang oleh perbuatan
dosa yang dilakukannya. Maka, walaupun sekali berbuat dosa puasanya akan
tetap berkurang pahalanya. Jika berulang kali dosanya, maka akan habis
semua pahalanya.
11. Niat Puasa
a. Bagaimanakah hukum melafazkan niat puasa?
Segala sesuatu yang berhubungan dengan niat, selalu ada dalam hati, atau
selalu dengan hati. Oleh sebab itu, melafazkan atau mengucapkan niat
tidaklah wajib hukumnya. Namun demikian, tidak pula berarti suatu bid’ah
yang dosa dan sesat. Meskipun hal itu tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah.
Pengucapan niat pada hakikatnya dimaksudkan untuk memasukkan isi lafaz
niat tersebut ke dalam hati yang oleh sebab itu menurut suatu madzhab
dipandang sunnah hukumnya, lantaran diyakini akan menjadi pendorong bagi
tercapainya sesuatu yang
5
wajib. Hanya satu hal yang perlu diperhatikan, yakni wajibnya sebuah
niat, tidak akan pernah dapat terpenuhi hanya dengan ucapan lisan tanpa
ada dalam hati.
b. Apakah sah puasa satu bulan Ramadhan dengan niat satu kali saja?
Puasa Ramadhan adalah ibadah, dan setiap ibadah wajib disertai dengan
niat, sebagaimana dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim dari ‘Umar bin
Khathab ra, yang dapat disimpulkan bahwa sebuah niat tidak dapat
digunakan untuk dua kali ibadah atau lebih.
Hari-hari puasa Ramadhan merupakan suatu bentuk ibadah tersendiri yang
sama sekali tak terkait dengan puasa hari sebelum dan sesudahnya. Oleh
sebab itu, setiap hari puasa Ramadhan membutuhkan niat tersendiri.
Namun demikian, sebagian dari para fuqoha ada pula yang berpendapat lain
yakni bahwa; “Puasa sebulan Ramadhan itu, cukup hanya dengan berniat
satu kali saja pada hari pertama”. Pendapat ini didasarkan bahwa puasa
sebulan Ramadhan itu adalah sebuah kesatuan, tidak terpecah-pecah,
sehingga layak disebut sebagai satu bentuk ibadah, dalam artian antara
malam hari yang boleh makan minum dengan siang hari yang harus berpuasa,
sudah merupakan suatu gabungan ibadah puasa.
12. Cara Mengqadha Puasa
a. Bagaimana hukum qadha yang tertunda sampai Ramadhan berikutnya?
Waktu dan kesempatan untuk melaksanakan qadha (mengganti) puasa Ramadhan
adalah lebih dari cukup yakni sampai bulan Ramadhan berikutnya. Namun
demikian, tidak mustahil ada orang-orang dengan alasan tertentu belum
juga melaksanakan qadha puasa itu sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya.
Kejadian seperti ini, dapat disebabkan oleh berbagai hal, baik yang
positif maupun negatif seperti, selalu ada halangan, sering sakit,
bersikap apatis, gegabah, mengabaikannya dan lain-lain. Sehingga
pelaksanaan qadha itu tertunda sampai Ramadhan berikutnya.
Penangguhan qadha puasa Ramadhan sampai tiba Ramadhan berikutnya tanpa
halangan yang sah maka hukumnya haram dan berdosa. Sedangkan jika
penangguhan itu disebabkan oleh udzur yang selalu menghalanginya, maka
tidaklah berdosa.
Adapun mengenai kewajiban fidyah yang dikaitkan dengan adanya
penangguhan qadha itu, diantara para fuqaha ada dua pendapat. Pertama,
penangguhan qadha puasa Ramadhan sampai tiba Ramadhan berikutnya, tidak
menjadi sebab diwajibkannya fidyah, baik penangguhan itu karena udzur
atau tidak. Kedua, penangguhan itu ada tafshil (rincian) hukumnya yakni,
jika penangguhan itu karena udzur, maka tidak menjadi sebab
diwajibkan-nya fidyah. Sedangkan jika penangguhan itu tanpa udzur maka
menjadi sebab diwajibkannya fidyah.
b. Apakah qadha puasa harus dilakukan secara berurutan?
Qadha puasa Ramadhan, wajib dilaksanakan sebanyak hari yang
ditinggalkan, sebagaimana termaktub dalam Al-Baqarah ayat 184. Tidak ada
ketentuan mengenai tatacara qadha selain dalam ayat tersebut. Dan tidak
ada pula dalil yang menunjukkan bahwa qadha itu harus dilakukan secara
berurutan. Malah sebuah hadits sharih (tegas dan jelas) yang
diriwayatkan Daruquthni dari Ibnu Umar menyataan: “Qadha puasa Ramadhan
itu, jika ia berkehendak maka ia boleh melakukannya secara terpisah. Dan
jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya secara berurutan.”
c. Bagaimana jika wafat sebelum melaksanakan qadha?
Memenuhi kewajiban membayar hutang adalah sesuatu yang mutlak baik yang
berhubungan dengan manusia, apalagi yang berhubungan dengan Allah.
Sehingga orang yang wafat sebelum memenuhi kewajiban qadha puasa
Ramadhan sama artinya dengan 6
mempunyai tunggakan hutang kepada Allah. Oleh sebab itu, pihak keluarga
wajib memenuhinya. Adapun dalam prakteknya ada dua pendapat. Pertama
yuang menyatakan pelaksanakan qadha orang yang wafat tersebut dapat
diganti dengan fidyah. Sebagaimana diatur dalam hadits: “Siapa saja
wafat dan mempunyai kewajiban puasa maka dapat digantikan dengan memberi
makan kepada seorang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya.” (HR
Tirmidzi dari Ibnu Umar)
Pendapat kedua mengatakan bahwa pihak keluarganya yang wajib
melaksanakan qadha puasa tersebut sebagai gantinya dan tidak boleh
dengan fidyah. Dalam prakteknya qadha itu boleh dilakukan orang lain
dengan seidzin atau atas perintah keluarganya. Ini didasarkan oleh
sebuah hadits: Siapa saja yang wafat dan mempunyai kewajiban qadha
puasa, maka walinya berpuasa untuk menggantikannya. (HR. Bukhari dan
Muslim dari ‘Aisyah)
Pendapat kedua ini lebih kuat karena landasan haditsnya lebih shahih. Sedangkan pendapat pertama haditsnya kurang kuat.
d. Bagaimana jika lupa jumlah hari puasa yang harus diqadha?
Dalam keadaan seperti ini lebih baik jika ditentukan saja jumlah hari
yang paling maksimum. Kelebihan hari qadha lebih baik dari pada kurang
karena kelebihan itu akan menjadi ibadah sunnah yang memiliki nilai
tersendiri.
13. Operasi Bedah, Transfusi Darah, Injeksi, Infus, Mengobati Mata, Menghirup Minyak Angin dan Minyak Wangi
Batalkah puasa karena operasi bedah, transfusi darah, injeksi, infus, mengobati mata, menghirup minyak angin dan minyak wangi?
Pembedahan dalam operasi tidak menjadi sebab batalnya puasa. Yang
menjadi sebab pembatalannya adalah pembiusan sebelum operasi itu
dilakukan. Pembiusan itu akan mengaki-batkan seseorang kehilangan
kesadarannya. Ketidaksadaran itu sama halnya dengan orang yang pingsan
atau hilang akal yang menyebabkan batal puasa.
Tentang transfusi darah, mengambil atau memasukkan darah dengan alat
tertentu, pada zaman Rasul tidak dikenal. Agak sulit untuk menentukan
batal-tidaknya puasa akibat tranfusi darah ini. Para fuqaha sepakat
bahwa segala tindakan yang akan melemahkan tenaga maka hukumnya makruh
bahkan haram jika tindakan itu kemudian akan menyebabkan seseorang tidak
mampu lagi melanjut-kan puasanya. Namun jika tindakan itu merupakan
suatu langkah darurat untuk menyelamatkan nyawa seseorang, tranfusi
darah diperbolehkan.
Seperti sudah diketahui secara umum orang yang diambil darahnya biasanya
selalu diberi susu atau makanan yang berfungsi untuk menguatkan keadaan
tubuhnya yang lemah. Karena itu orang yang memberikan darah dalam
keadaan berpuasa sebaiknya membatalkan puasanya, dengan alasan
menghindari diri dari kemudharatan. Sebaliknya orang yang menerima
transfusi karena sudah pasti dia adalah orang yang sedang sakit parah,
bahkan bisa jadi tidak sadarkan diri, maka puasanya batal.
Tentang injeksi atau memasukkan cairan obat lewat jarum suntik pada
tubuh seseorang, pada zaman Nabi tidak dikenal. Untuk itu, dalam
menentukan hukumnya bagi orang yang sedang berpuasa para ahli fiqh
mengaitakannya dengan hukum dasar puasa. Salah satu sebab yang
membatalkan puasa adalah masuknya makanan atau minuman ke dalam perut
atau usus melalui kerongkongan (jalan masuk makanan dan atau minuman).
Injeksi tidak berhubungan dengan dengan kerongkongan, sehingga ahli fiqh
sepakat bahwa cairan yang masuk ke tubuh itu tidak membatalkan puasa
karena tidak bertujuan untuk memasukkan makanan.
Persoalan yang mirip dengan injeksi adalah infus. Alat yang digunakan
sama yakni jarum. Tapi cairan yang digunakan dalam infus sudah dimaklumi
merupakan sari zat makanan. Tentang hal ini para ulama bebeda pendapat.
Ada yang menyatakan puasa itu tidak batal 7
karena bagaimana pun masuknya cairan itu tidak melalui kerongkongan yang menjadi sebab batalnya puasa.
Pendapat yang lain mengatakan batal karena sekalipun masuknya cairan itu
tidak melalui kerongkongan melainkan ke pembuluh darah, tapi dampaknya
bisa menguatkan tubuh sebagaimana makanan yang masuk lewat kerongkongan
pun pada akhirnya akan masuk ke darah pula.
Dr. Yusuf Qardhawi menilai bahwa hukum infus dan injeksi tidak
membatalkan puasa. Tapi ulama besar itu menyarankan agar dalam
menggunakan fasilitas-fasilitas itu sebaiknya tidak dilakukan pada siang
hari bulan Ramadhan, karena bagaimanapun zat-zat yang dimasukkan lewat
jarum infus itu akan mempengaruhi kekuatan tubuh. Padahal dengan puasa
Allah menghendaki agar manusia merasakan lapar dan dahaganya supaya ia
mengetahui kadar nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya.
Tentang pengobatan mata dan telinga dengan memasukkan cairan serta
penggunaan celak mata, para ahli fiqh umumnya sependapat karena ia tidak
berhubungan sama sekali dengan perut dan kerongkongan maka hukumnya
tidak membatalkan puasa. Ulama besar yang memfatwakan hukum ini antara
lain Ibnu Taimiyah dan Yusuf Qardhawi.
Menghirup bau obat seperti minyak angin untuk penyembuhan, sekalipun
masuk ke dalam tubuh melalu rongga kerongkongan dan bisa menyegarkan
tubuh tidak membatalkan puasa. Lantaran yang dihirup itu adalah bukan
benda yang berwujud. Jadi sama halnya dengan hukum mencium dan menghirup
aroma masakan yang tidak membatalkan puasa. Alasannya dalam kehidupan
sehari-hari manusia, baik sengaja atau tidak akan selalu mencium
berbagai aroma.
14. Bercumbu dan Mencium Istri
Bagaimana Hukum Mencium Isteri Ketika Sedang Berpuasa?
Mencium isteri pada dasarnya tidak membatalkan puasa terkecuali bila
kemudian mengakibatkan keluarnya sperma. Jika demikian yang terjadi maka
membatalkan puasanya.
Dalam kaitan mencium isteri yang dikaitkan dengan ibadah puasa digolongkan dalam tiga pembahasan:
a. Mubah, yakni boleh mencium isteri jika tidak disertai syahwat.
Misalnya, ciuman yang dilakukan sebagai ekspresi kasih sayang, melepas
rindu setelah lama berpisah dan lain sebagainya. Singkatnya boleh, boleh
mencium isteri walaupun sedang dalam berpuasa, selagi mampu menahan
syahwat. “Nabi Saw mencium (isterinya), padahal sedang berpuasa. Dan
beliau bersentuhan kulit, padahal sedang dalam berpuasa. Rasulullah Saw
lebih mampu dari kamu dalam menahan syahwatnya.” (HR Buhari, Muslim dari
Aisyah).
b. Makruh, Yakni jika mencium isteri disertai dengan syahwat, walaupun tanpa disertai keluarnya sperma.
c. Haram, selain juga membatalkan puasa. Yakni mencium isteri disertai dengan syahwat yangmenyebabkan keluarnya sperma.
15. Mencicipi Masakan
Batalkah Puasa Lantaran Mencicipi Masakan?
Mencicipi masakan? Bagi para ibu-ibu yang sedang memasak merupakan hal
yang lumrah dengan lidah, lantas dikeluarkan kembali, tidak membatalkan
puasa. Dan tidak makruh pula hukum-nya, meskipun dalam sekejap nikmatnya
dapat dirasakan. Namun demikian, jika makanan atau minuman yang dicicip
tadi sengaja ditelan? Walaupun relatif sedikit maka puasanya batal,
sebagaimana batalnya puasa karena masuknya makanan atau minuman.
16. Menyelam
Bolehkah menyelam dalam air ketika berpuasa?
8
Menyelam dalam air, jika dihubungkan dengan orang berpuasa, maka akan
menimbulkan masalah. Dalam hal ini ada dua kemungkinan masalah yang akan
menyertainya: Pertama, menyelam dalam air dengan tujuan menyegarkan
badan. Kedua, menyelam dalam air yang menyebabkan batalnya puasa.
Untuk masalah pertama ada dua pendapat lagi, pertama yang menilai makruh
dengan alasan bahwa sudah menjadi konsekuensi orang yang berpuasa harus
bisa menahan kondisi yang timbul akibat puasa seperti lapar, haus,
lemas, panas, letih dan lain-lain. Pendapat kedua merujuk pada riwayat
Abu Bakar bin Abdurrahman yang menjelaskan bahwa suatu ketika para
sahabat melihat Rasulullah menuangkan air ke atas kepalanya lantaran
haus dan panas padahal beliau sedang berpuasa. Riwayat ini
mengisyaratkan bahwa menyegarkan badan bagi orang yang berpuasa sama
sekali tidak makruh.
Masalah kedua, tindakan menyelam dalam air yang bisa membatalkan puasa
lantaran dikhawatirkan air akan tertelan baik melalui mulut ataupun
hidung.
17. Menggosok Gigi
Bolehkah menggosok gigi ketika sedang berpuasa?
Syari’at Islam sangat memperhatikan akan kebersihan dan kesehatan
manusia. Dimana salah satu bukti tentang hal ini adalah disunnahkannya
menggosok gigi ketika akan melaksanakan ibadah sholat.
Tentang dasar adanya anjuran ataupun larangan menggosok gigi pada saat
berpuasa tidak ada nash yang secara terang menjelaskan. Tetapi ada hal
yang menjadi pedoman bagi hal ini, yaitu jika rasa pasta gigi yang
digunakan dibiarkan tertelan bersama air liur.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, yaitu tidak makruh dan sama
sekali tidak membatalkan puasa bila menggosok gigi pada saat berpuasa,
asalkan pasta gigi yang digunakan tidak ditelannya secara sengaja.
18. Muntah
Batalkah puasa seseorang karena muntah?
Muntah yang dikaitkan dengan dengan batal atau tidaknya puasa seseorang ada dua pendapat di kalangan para fuqaha.
a. Pendapat pertama, muntah yang disengaja membatalkan puasa. Sedang
muntah yang tanpa sengaja tidak membatlkan puasa. Hal ini disandarkan
pada sabda nabi: “Siapa saja terdesak muntah, ia tidak wajib qadha’. Dan
siapa saja yang berupaya untuk muntah maka wajib meng-qadha’nya.” (HR
Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dari Abu Hurairah).
b. Pendapat kedua, muntah bagi orang yang puasa, disengaja atau tidak
sama sekali tidak membatalkan puasa. Pendapat ini didasarkan pada hadits
nabi: “Perkara yang tidak membatalkan puasa; muntah, berbekam dan mimpi
keluar sperma. (HR. Tirmidzi dan Baihaqi). Namun hadits ini adalah
dhaif dari segi sanad.
19. Mengapa Merokok Membatalkan Puasa?
Bagi orang yang berpuasa, memang tidak dijelaskan larangan merokok, baik
dalam Al Qur’an maupun As-Sunnah. Akan tetapi hendaknya dimaklumi bahwa
asap rokok yang mengandung nikotin itu merupakan benda yang berujud
nyata. Sehingga, jika sengaja dihisap dan masuk dalam rongga badan
(paru-paru, jantung dan usus besar), maka tidak disangsikan lagi bahwa
hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana makan atau minum.
Rujukan:
1. Fatwa-fatwa Kontemporer oleh Dr. Yusuf Qardhawi, Penerbit GIP
2. Ramadhan, Puasa, Lailatul Qadar, I’tikaf oleh Arwanie Faishal, Penerbit Fikahati Aneska
3. Pedoman Puasa oleh Prof. Dr. TM Hasby Ashshidiqie, Penerbit Pustaka Rizki Putra Semarang
9
FIQIH SHAUM Nabil Fuad Al-Musawa MAKNA SHAUM Secara bahasa, shaum
berarti al-Imsak, yaitu menahan diri untuk tidak melakukan atau
mengucapkan sesuatu (QS 19/26). Adapun secara terminologis, shaum
bermakna : Menahan diri dari makan, minum hubungan seksual dan
perbuatan2 maksiat dengan niat yang ikhlas, dari sejak terbit fajar
sampai terbenam matahari (QS 2/187, 19/26). Ibadah ini diwajibkan th
ke-2 hijrah. JENIS2 SHAUM 1. Shaum Wajib : · Puasa Ramadhan (QS 2/183)
atau penggantinya (QS 2/184). · Puasa nadzar, yaitu janji kepada Allah
SWT untuk berpuasa (HR Abu Daud). · Puasa kiffarah, diantaranya karena
melanggar sumpah atau hajji tamattu’ (HR Jama’ah).
2. Shaum Sunnah : · Puasa Senin – Kamis (dzalika yaumun wulidtu fihi wa
yaumun bu’itstu, HR Muslim dan Abu Daud no.7439). · Puasa 6 hari di
bulan Syawwal (HR Jama’ah kecuali Bukhari dan Nasa’I) · Puasa 9
Dzulhijjah/puasa Arafah (HR Muslim). · Puasa ayyamil bidh, yaitu pada
tanggal 13, 14, 15 setiap bulan Qamariyyah (HR Bukhari Muslim, al-Lu’lu
wal Marjan, no.418). · Puasa, Asyura dan Tasu’a, yaitu tanggal 9 dan 10
Muharram (HR Bukhari Muslim). · Puasa di bulan Sya’ban (HR Nasa’I dll.) ·
Puasa di bulan2 haram (suci) yaitu : Dzul qa’dah, Dzulhijjah, Muharram
dan Rajab tanpa mengkhususkan pada hari-hari tertentu (HR Abu Daud no.
2428; Ibnu Majah no.1741 dan Nasa’I). · Puasa Daud, yaitu berpuasa
berselang sehari setiap waktu (HR Bukhari Muslim dan lainnya) 3. Shaum
Haram : · Puasa pada 2 hari Raya (HR Bukhari Muslim) dan hari Tasyrik :
11, 12, 13 Dzulhijjah (HR Muslim). · Puasa wishal (yaitu sampai lewat
maghrib), (HR Bukhari Muslim) seperti : Tapa, ngebleng, pati geni,
mutih, ngalang, ngeplang, kungkum dan berbagai puasa bid’ah lainnya. ·
Puasa wanita yang nifas atau haidh (HR Jama’ah). · Puasa yang
membahayakan kondisi fisik (QS 2/195). · Puasa sunnah wanita dirumah
suami tanpa izin suami (HR Bukhari Muslim). 4. Shaum Makruh : · Puasa
dengan mengkhususkan hari2 tertentu tanpa sebab qadha’ (HR Ahmad dan
Nasa’I), seperti 12 rabi’ul awwal, 27 Rajab, nishfu Sya’ban dll (lih.
Zadul Ma’ad dalam al-Qardhawi hal. 186-188). · Puasa sepanjang masa (HR
Bukhari Muslim). · Puasa hari Jum’at (HR Bukhari Muslim) atau Sabtu (HR
Muslim), jika tanpa sebab qadha’. 10
PENETAPAN SHAUM RAMADHAN · Shaum dihitung berdasar bulan qamariyyah
sehingga meringankan, sebab beredar pada 4 musim, sehingga bergilir
antara musim panas dan dingin. Inilah salah satu hikmah penggunaan bulan
Islam sebagaimana dlm QS 2/187. · Penetapan awal dan akhir puasa adalah
dengan ru’yatul hilal (HR Muttafaq ‘alaih : la tashumu hatta tarawul
hilal, lih. al-Lu’lu wal marjan, hadits no. 656), takmilu syahri sya’ban
(HR Abu Daud no.2322, Tirmidzi no.689, Ahmad no.3776,3840,3871 : fa
akmilu ‘iddata sya’bana tsalatsina) dan meng-hisab jatuhnya bulan (HR
Muttafaq ‘alaih : faqduru lahu ). ORANG2 YANG BER-UDZUR SYAR’I
(BERASALAN SECARA SYARIAT) 1. Orang yg haram berpuasa, dan wajib
meng-qadha’, yaitu : haid dan nifas (HR Muslim). 2. Org yg boleh berbuka
tapi wajib meng-qadha’, yaitu · Sakit, yaitu yg dpt menyebabkan semakin
parahnya sakit jika berpuasa (baik berdsrkan percobaan dulu ataupun dg
rekomendasi dokter), org yg sangat lapar/haus shg takut binasa. · Safar
dg jarak sejauh : 1) tdk ada: Ibnul Qayyim dlm zadul ma’ad; 2) 3 mil :
Dahiyyah bin Khulaifah al-Kalby; 3) 80 km/90 km. Walau safar tsb dg
kendaraan modern (lih. Majmu’ fatawa libni Taimiyyah, juz-27 hal 210).
3. Org yg boleh berbuka tapi wajib fidyah, yaitu org tua yg lemah, org
yg berpenyakit tdk ada harapan sembuh, pikun, pekerja berat, org yg
selalu dlm safar spt sopir(QS 2/186 : wa ‘alalladzina yuthiqunahu
fafidyatun). 4. Org yg hamil dan menyusui, tapi hrs meng-qadha’ (jumhur
fuqaha’, lih. Qardhawi, Fiqh Shiam, hal.78), atau boleh fidyah (Ibnu
Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Sirin, Sa’id bin Jubair, al-Qasim bin Muhammad,
Qatadah, Ibrahim dan inilah yg paling kuat menurut Qardhawi, lih. Fiqh
Shiam, hal.79). HAL2 YG TDK MEMBATALKAN PUASA 1. Muntah, yang tidak
disengaja (HR Bukhari, lih. Fiqh Shiam al-Qardhawi, hal.98). 2. Mandi,
mencicipi masakan, kumur2, menggosok gigi, bercelak, berendam dlm air,
masuk air tdk sengaja, luka, suntik, dsb sepanjang tidak dengan sengaja
menelan sesuatu tersebut (lih. al-Muhalla Ibnu Hazm juz-6 hal.300-301
dan al-Qardhawi, idem hal.104-105). 3. Mencium istri yang sah (bukan
pacar) asal tdk dg syahwat (Qardhawi, hal.115-117). 4. Makan karena
menyangka sudah maghrib (HR shahih al-Baihaqi, no.355). 5. Makan/minum
karena lupa (HR Jama’ah). 6. Dipaksa (HR Ibnu Majah, Hakim, Baihaqi dg
sanad shahih). 7. Boleh makan/minum sedikit jika belum sempat sahur
sudah terdengar adzan (HR al-Hakim dan di-shahih-kannya dan disepakati
oleh adz-Dzahabi, juz-1, hal.426). SUNNAH2 PUASA RAMADHAN 1.
Mengakhirkan sahur (HR Muttafaq ‘alaih) dan segera berbuka (HR Muttafaq
‘alaih). 2. Memulai berbuka dg beberapa kurma dan beberapa teguk air (HR
Ahmad juz-3, hal.164; Abu Daud hadits no.2356; dan Tirmidzi no.696),
atau dg buah2an. 11
3. Shadaqah dan memberi makan (QS 2/184). 4. Memperbanyak tilawah
al-Qur’an (QS 2/185). 5. Memperbanyak dzikir (wali tukabbirullaha ‘ala
ma hadakum, QS 2/185). 6. Memperbanyak berdo’a (QS 2/186). 7.
Memperbanyak tarawih dan tahajjud (man qama ramadhana, HR Bukhari
Muslim), jumlahnya boleh 11 raka’at, 13, 23, 39, 41 (lih. Fathul Bari
juz-5 hal.157), bahkan boleh lebih dari itu (lih. fatwa Ibnu Taimiyyah
dalam al-Qardhawi, Fiqh Shiam hal.144-145). 8. I’tikaf di mesjid,
terutama malam 20 Ramadhan keatas (QS 2/187). 9. Menanti lailatul qadar
(HR Bukhari Muslim, al-Lu’lu wal Marjan no.724-726). 10. Menjauhkan diri
dari kata2 dan perbuatan maksiat (ash shaumu junnah, HR Bukhari Muslim;
rubba shaimin, HR Nasa’I, Ibnu Majah dan al-Hakim dlm al-Mustadrak
juz-1 hal.431). HIKMAH SHAUM 1. Manifestasi dari iman (QS 2/183 : ya
ayyuhalladzina amanu). 2. Latihan disiplin dan menguasai hawa nafsu (QS
2/183 : la’allakum tattaqun). 3. Latihan kesabaran dan perisai dari
godaan hawa nafsu (HR Bazzar, Thabrani, Baghawi : shumu syahris shabri,
lih. Jami’us shaghir lis suyuthi hadits no. 3804). 4. Menumbuhkan
kasih-sayang pada fakir miskin (HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah, Ibnu
Hibban : man faththara sha’iman kana lahu mitslu ajrihi, lih. shahih
jami’us shaghir hadits no. 6415). 5. Menjaga dan meningkatkan kesehatan
tubuh (HR Tirmidzi : shumu tashihhu). 6. Mengingatkan untuk selalu
bersyukur atas nikmat-Nya.
12
Risalah Puasa
A. Pengertian Puasa
Puasa dalam bahasa arab adalah shaum dan jama`nya adalah shiam. Secara
ilmu bahasa, shaum itu berarti al-imsak yang berarti ‘menahan’.
Sedangkan menurut istilah syariah, shaum itu berarti : Menahan diri dari
makan, minum, hubungan seksual dan hal-hal lain yang membatalkannya
sejak subuh hingga terbenam matahari dengan niat ibadah.
B. Syariat Puasa
Puasa Ramadhan pertama kali disyariatkan adalah pada tanggal 10 Sya`ban
di tahun kedua setelah hijrah Nabi SAW ke Madinah. Sesudah diturunkannya
perintah penggantian kiblat dari masjidil Al-Aqsha ke Masjid Al-Haram.
Semenjak itulah Rasulullah SAW menjalankan puasa Ramadhan hingga akhir
hayatnya sebanyak sembilan kali dalam sembilan tahun.
Puasa Ramadhan adalah bagian dari rukun Islam yang lima, Oleh karena itu
mengingkari kewajiban puasa Ramadhan termasuk mengingkari rukun Islam.
Dan pengingkaran atas salah satu rukun Islam akan mengakibatkan batalnya
ke-Islaman seseorang.
Sesungguhnya kewajiban puasa bukan saja kepada umat Nabi Muhammad SAW,
tetapi umat terdahulu pun telah mendapatkan perintah untuk puasa.
Meskipun demikian, bentuk dan tatacaranya sedikit berbeda dengan yang
diberlakukan oleh Rasulullah SAW.
Paling tidak kita mengenal bentuk puasa nabi Daud, yaitu sehari berpuasa
dan sehari tidak. Itu dilakukan sepanjang hayat hingga wafat.
Kita juga mengenal bentuk puasa di zaman Nabi Zakaria, dimana puasa itu
bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga tidak boleh berbicara.
Sedangkan kewajiban puasa Ramadhan didasari olel Al-Quran, As-Sunah dan Ijma`.
1. Al-Quran Allah telah mewajibkan umat Islam untuk berpuasa bulan
Ramadhan dalam Al-Quran Al-Kariem. Wahai orang yang beriman, diwajibkan
kepadamu berpuasa sebagaiman telah diwajibkan kepada umat sebelummu agar
kamu bertaqwa. (QS Al-Baqarah : 183)
2. As-Sunnah Hadits Nabi SAW : Islam dibangun atas lima, syahadat bahwa
tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan
shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji ke baitullah
bila mampu. (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits Nabi SAW : Dari Thalhah bin
Ubaid ra bahwa seseorang datang kepada Nabi SAW dan bertanya,” Ya
Rasulullah SAW , katakan padaku apa yang Allah wajibkan kepadaku tentang
puasa ?” Beliau menjawab,”Puasa Ramadhan”. “Apakah ada lagi selain itu
?”. Beliau menjawab, “Tidak, kecuali puasa sunnah”.(HR. )
3. Al-Ijma` Secara ijma` seluruh umat Islam sepanjang zaman telah
sepakat atas kewajiban puasa Ramadhan bagi tiap-muslim yang memenuhi
syarat wajib puasa.
13
C. Penentuan Awal Ramadhan
Untuk menentukan awal Ramadhan, ada dua cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW yaitu :
1. Dengan melihat bulan (ru`yatul hilal). Yaitu dengan cara
memperhatikan terbitnya bulan di hari ke 29 bulan Sya`ban. Pada sore
hari saat matahari terbenam di ufuk barat. Apabila saat itu nampak bulan
sabit meski sangat kecil dan hanya dalam waktu yang singkat, maka
ditetapkan bahwa mulai malam itu, umat Islam sudah memasuki tanggal 1
bulan Ramadhan. Jadi bulan Sya`ban umurnya hanya 29 hari bukan 30 hari.
Maka ditetapkan untuk melakukan ibadah Ramadhan seperti shalat tarawih,
makan sahur dan mulai berpuasa.
2. (Ikmal) Menggenapkan umur bulan Sya`ban menjadi 30 hari Tetapi bila
bulan sabit awal Ramadhan sama sekali tidak terlihat, maka umur bulan
Sya`ban ditetapkan menjadi 30 hari (ikmal) dan puasa Ramadhan baru
dilaksanakan lusanya.
Perintah untuk melakukan ru`yatul hilal dan ikmal ini didasari atas
perintah Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Abu Hurairah ra. : Puasalah
dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan,
bila tidak nampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya`ban menjadi 30
hari.(HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan metode penghitungan berdasarkan ilmu hisab dalam menentukan
awal Ramadhan tidak termasyuk cara yang masyru` karena tidak ada dalil
serta isyarat dari Rasulullah SAW untuk menggunakannya. Ini berbeda
dengan penentuan waktu shalat dimana Rasulullah SAW tidak memberi
perintah secara khusus untuk melihat bayangan matahari atau terbenamnya
atau terbitnya atau ada tidaknya mega merah dan seterusnya. Karena tidak
ada perintah khusus untuk melakukan rukyat, sehingga penggunaan hisab
khusus untuk menetapkan waktu-waktu shalat tidak terlarang dan bisa
dibenarkan.
Ikhtilaful Matholi` Ada perbedaan pendapat tentang ru`yatul hilal, yaitu
apakah bila ada orang yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib
mengikutinya atau tidak ? Atau hanya berlaku bagi negeri dimana dia
tinggal ? Dalam hal ini para ulama memang berbeda pendapat :
• Pendapat pertama adalah pendapat jumhur ulama Mereka (jumhur)
menetapkan bahwa bila ada satu orang saja yang melihat bulan, maka semua
wilayah negeri Islam di dunia ini wajib mengikutinya.
Hal ini berdasarkan prinsip wihdatul matholi`, yaitu bahwa mathla`
(tempat terbitnya bulan) itu merupakan satu kesatuan di seluruh dunia.
Jadi bila ada satu tempat yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib
mengikutinya.
Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal.
• Pendapat Kedua adalah pendapat Imam Syafi`i RA. Beliau berpendapat
bahwa bila ada seorang melihat bulan, maka hukumnya hanya mengikat pada
negeri yang dekat saja, sedangkan negeri yang jauh memeliki hukum
sendiri. Ini didasarkan pada prinsip ihktilaful matholi` atau beragamnya
tempat terbitnya bulan.
14
Ukuran jauh dekatnya adalah 24 farsakh atau 133,057 km. Jadi hukumnya
hanya mengikat pada wilayah sekitar jarak itu. Sedangkan diluar jarak
tersebut, tidak terikat hukum ruk`yatul hilal.
Dasar pendapat ini adalah hadits Kuraib dan hadits Umar, juga qiyas
perbedaan waktu shalat pada tiap wilayah dan juga pendekatan logika.
D. Syarat Puasa
Syarat puasa terbagi menjadi dua macam. Pertama adalah syarat wajib
puasa, dimana bila syarat-syarat ini terpenuhi, seeorang menjadi wajib
hukumnya untuk berpuasa. Kedua adalah syarat syah puasa, dimana
seseorang syah puasanya bila memenuhi syarat-syarat itu.
1. Syarat Wajib Syarat wajib maksudnya adalah hal-hal yang membuat
seorang menjadi wajib untuk melakukan puasa. Bila salah satu syarat ini
tidak terpenuhi pada diri seseorang, maka puasa Ramadhan itu menjadi
tidak wajib atas dirinya. Meski kalau dia mau, dia tetap diperbolehkan
untuk berpuasa.
Diantara syarat-syarat yang mewajibkan seseorang harus berpuasa antara lain yaitu :
o Baligh Anak kecil yang belum baligh tidak wajib puasa. Namun orang
tuanya wajib memerintahkannya puasa ketika berusia 7 tahun dan bila
sampai 10 tahun boleh dipukul. Persis seperti pada masalah shalat.
Rasulullah SAW bersabda : Dari Ibnu Amr bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Perintahkan anak-anak kamu untuk mengerjakan shalat ketika
berusia 7 tahun dan pukullah mereka karena tidak menegakkan shalat
ketika berusia 10 tahun.(HR. Abu Daud dan Hakim dan dishahihkan dalam
Al-Jamius Shaghir).
Meski demikian, secara hukum anak-anak termasuk yang belum mendapat
beban / taklif untuk mengerjakan puasa Ramadhan, sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits : Telah diangkat pena dari tiga orang : Dari
orang gila hingga waras, dari orang yang tidur hingga terjaga dan dari
anak kecil hingga mimpi.(HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmizy).
o Berakal Orang gila tidak wajib puasa bahkan tidak perlu menggantinya
atau tidak perlu mengqadha`nya. Kecuali bila melakukan sesuatu secara
sengaja yang mengantarkannya kepada kegilaan, maka wajib puasa atau
wajib menggantinya.
Hal yang sama berlaku pada orang yang mabuk, bila mabuknya disengaja.
Tapi bila mabuknya tidak disengaja, maka tidak wajib atasnya puasa.
o Sehat Orang yang sedang sakit tidak wajib melaksanakan puasa Ramadhan.
Namun dia wajib menggantinya di hari lain ketika nanti kesehatannya
telah pulih.
15
Allah SWT berfirman : …Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka
(wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu…(QS. Al-Baqarah : 185).
Jenis penyakit yang membolehkan seseorang tidak menjalankan kewajiban
puasa Ramadhan adalah penyakit yang akan bertambah parah bila berpuasa.
Atau ditakutkan penyakitnya akan terlambat untuk sembuh.
o Mampu Allah hanya mewajibkan puasa Ramadhan kepada orang yang memang
masih mampu untuk melakukannya. Sedangkan orang yang sangat lemah atau
sudah jompo dimana secara pisik memang tidak mungkin lagi melakukan
puasa, maka mereka tidak diwajibkan puasa.
Allah SWT berfirman : Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…(QS.
Al-Baqarah : 184)
o Tidak dalam perjalanan (bukan musafir) Orang yang dalam perjalanan tidak wajib puasa. Tapi wajib atasnya mengqadha` puasanya.
Dalam hadits Rasulullam SAW disebutkan : Bahwa Hamzah Al-Aslami
berkata,”Ya Rasulallah, Aku kuat tetap berpuasa dalam perjalanan, apakah
aku berdosa ?”. Rasulullah SAW menjawab,”Itu adalah keringanan dari
Allah Ta`ala, siapa yang berbuka maka baik. Dan siapa yang lebih suka
berpuasa maka tidak ada dosa”.(HR. Muslim>
2. Syarat Syah Sedangkan syarat syah adalah syarat yang harus dipenuhi
agar puasa yang dilakukan oleh seseorang itu menjadi syah hukumnya di
hapadan Allah SWT.
o Niat Bila seseorang berpuasa tapi lupa atau tidak berniat, maka
puasanya tidak syah. Maksudnya puasa wajib bulan Ramadhan atau puasa
wajib nazar atau puasa wajib qadha`. Namun bila puasa sunnah, maka
niatnya tidak harus sejak terbit fajar, boleh dilakukan di siang hari
ketika tidak mendapatkan makanan.
o Beragama Islam Puasa orang bukan muslim baik kristen, katolik, hindu,
budha atau agama apapun termasuk atheis tidak syah. Bila mereka tetap
berpuasa, maka tidak mendapatkan balasan apa-apa.
o Suci dan haidh dan nifas Wanita yang mendapat haidh dan nifas, bila tetap berpuasa, maka puasanya tidak syah.
o Pada hari yang dibolehkan puasa Bila melakukan puasa pada hari-hari
yang dilarang, maka puasanya tidak syah bahkan haram untuk dilakukan.
Diantara hari-hari yang secara khusus dilarang untuk berpuasa adalah :
1. Hari Raya Idul Fithri 1 Syawwal.
2. Hari Raya Idul Adha tanggal 10 ZulHijjah.
16
3. Hari Tasyrik yaitu tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah
4. Puasa sehari saja pada hari Jumat, tanpa didahului dengan hari
sebelum atau sesudahnya. Kecuali ada kaitannya dengan puasa sunnah
lainnya seperti puasa sunah nabi Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari
tidak. Maka bila jatuh hari Jumat giliran untuk puasa, boleh berpuasa.
5. Puasa sunnah pada paruh kedua bulan Sya`ban, yaitu mulai tanggal 15
Sya`ban hingga akhir. Namun bila puasa bulan Sya`ban sebulan penuh,
justru merupakan sunnah. Sedangkan puasa wajib seperti qadha` puasa
Ramadhan wajib dilakukan bila memang hanya tersisa hari-hari itu saja.
6. Puasa pada hari Syak, yaitu tanggal 30 Sya`ban bila orang-orang ragu
tentang awal bulan Ramadhan karena hilal (bulan) tidak terlihat.
E. Rukun Puasa
Puasa itu mempunyai dua rukun yang menjadi inti dari ibadah tersebut. Tanpa kedua hal itu, maka puasa menjadi tidak berarti.
1. Niat Niat adalah azam (berketatapan) di dalam hati untuk mengerjakan
puasa sebagai bentuk pelaksanaan perintah Allah SWT dan taqarrub
(pendekatan diri) kepada-Nya.
Sabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya semua amal itu tergantung niatnya.
Kedudukan niat ini menjadi sangat penting untuk puasa wajib. Karena
harus sudah diniatkan sebelum terbit fajar. Dan puasa wajib itu tidak
syah bila tidak berniat sebelum waktu fajar itu.
Sabda Rasulullah SAW : Barang siapa yang tidak berniat pada malamnya, maka tidak ada puasa untuknya. (HR. Tirmizy)
Berbeda dengan puasa sunnah yang tidak mensyaratkan niat sebelum terbit
fajar. Jadi boleh berniat puasa meski telah siang hari asal belum makan,
minum atau mengerjakan sesuatu yang membatalkan puasa.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dari
Aisyah RA. Berkata, Rasulullah SAW datang kepadaku pada suatu hari dan
bertanya, “Apakah kamu punya makanan ?”. Aku menjawab,”Tidak”. Beliau
lalu berkata,”Kalau begitu aku berpuasa”. (HR. Muslim)
2. Imsak (menahan) Imsak artinya menahan dari makan, minum, hubungan
seksual suami istri dan semua hal yang membatalkan puasa, dari sejak
fajar hingga terbenamnya matahari.
Allah SWT berfirman : …Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai malam…(QS. Al-Baqarah : 187)
Yang dimaksud dengan benang putih dan benang hitam adalah putihnya siang dan hitamnya malam
17
F. Yang Membatalkan Puasa
1. Makan minum secara sengaja Bila makan dan minum secara sengaja, maka
batallah puasanya. Tetapi bila makan dan minum karena lupa, maka tidak
membatalkan puasa, asal ketika ingat segera berhenti dari makan dan
minum.Termasuk yangmembatalkan puasa adalah makan atau minum dengan
menyangka bahwa belum terbit fajar, padahal sudah terbit, maka batallah
puasanya. Dan makan atau minum dengan menyangka sudah masuk waktu
berbuka, padahal ternyata belum, maka puasanya pun batal. Termasuk batal
juga bila makan atau minum karena lupa tetapi begitu ingat, tidak
berhenti dari makan atau minum. Apabila seseorang memasukkan benda ke
dalam tubuhnya melalui lubang seperti hidung, mulut, mata, telinga
secara sengaja, maka batal pula puasanya.
Sabda Rasulullah SAW Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Siapa lupa ketika puasa lalu dia makan atau minum, maka
teruskan saja puasanya. Karena sesungguhnya Allah telah memberinya makan
dan minum.(HR. Jamaah)
Sabda Rasulullah SAW Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Siapa yang berbuka pada saat Ramadhan karean lupa, tidak ada
keharusan mengqadha` atau membayar kafarah. (HR. Muslim)
2. Hubungan seksual Hubungan seksual suami istri membatalkan puasa. Dan
bila dikerjakan pada saat puasa Ramadhan, maka selain membayar qadha`
juga diwajibkan membayar kaffarah. Karena hubungan seksual di siang hari
bulan Ramadhan termasuk perbuatan yang merusak kesucian Ramadhan itu.
Padahal kita diperintahkan pada saat-saat itu untuk menahan segala nafsu
dan dorongan syahwat dengan tidak makan, tidak minum dan tidak
melakukan hal-hal yang keji dan mungkar. Tetapi justru pada saat yang
semulia itu malah melakukan hubungan seksual di siang hari. Karena itu
hukumannya tidak hanya mengganti / mengqadha` puasa di hari lain, tetapi
harus membayuar denda / kaffarah sebagai hukuman dari merusak kesucian
bulan Ramadhan. Bentuk kaffarah itu salah satu dari tiga hal : a.
Memerdekakan budak b. Puasa 2 bulan berturut-turut c. Memberi makan 60
orang miskin.
3. Sengaja muntah Istiqa` atau muntah adalah bila seseorang melakukan
sesuatu yang mengakibatkan muntah, maka puasanya batal. Seperti
memasukkan jari ke dalam mulut tidak karena kepentingan. Atau membuang
lendir dari tenggorokan tetapi malah mengakibatkan muntah. Dan semua
pekerjaan lainnya yang pada dasrnya tidak perlu dilakukan tetapi malah
mengakibatkan muntah. Semua itu dapat membatalkan puasa karena itu harus
dihindari agar tidak melakukannya saat berpuasa. Namun bila muntah
karena sebab yang tidak bisa ditolak seperti karena masuk angin atau
sakit lainnya, maka puasanya tetap syah. Sabda Rasulullah SAW, Siapa
yang menyngaja muntah, wajiblah mengganti (mengqadha`) puasanya.
4. Hilang / berubah niatnya Ketika seseorang dalam keadaan puasa, lalu terbetik dalam hatinya niat untuk berbuka
18
saat itu juga sehingga niat puasanya menjadi hilang atau berubah, maka
puasanya telah batal. Meskipun saat itu dia belum lagi makan atau minum.
Karena niat merupakan rukun puasa. Bila niat itu hilang, maka hilang
pula puasanya. Karena itu niat harus terpasang terus ketika berpuasa dan
tidak boleh berubah. Niat itu adalah azam atau tekad. Tekad itu harus
ada terus selama menjalankan ibadah puasa. Hilangnya tekan maka hilang
pula nilai ibadahnya.
5. Murtad Seseorang yang sedang berpuasa, lalu keluar dari agama Islam /
murtad, maka otomatis puasanya batal. Dan bila hari itu juga dia
kembali lagi masuk Islam, puasanya sudah batal. Dia wajib mengqadha
puasanya hari itu meski belum sempat makan atau minum. Fiman Allah SWT,
Bila kamu menyekutukan Allah (murtad), maka Allah akan menghapus
amal-amalmu dan kamu pasti jadi orang yang rugi. (QS Az-Zumar )
6. Keluarnya mani secara sengaja Melakukan segala sesuatu yang dapat
merangsang birahi hingga sampai keluar air mani menyebabkan puasa
menjadi batal. Seperti melakukan onani/masturbasi, atau melihat gambar
porno baik media cetak maupun film dan internet. Bahkan bila seseorang
dalam keadaan puasa lalu berfantasi dan berimajinasi seksual yang
mengakibatkan keluarnya mani, maka puasanya batal dengan sendirinya.
Termasuk bercumbu antara suami istri yang mengakibatkan keluarnya mani
meski tidak melakukan hubungan seksual, maka puasanya batal meski tidak
sampai wajib membayar kaffarah. Karena itu sebaiknya hindari semua hal
yang merangsang birahi karena beresiko batalnya puasa. Tetapi bila
keluar mani dengan sendirinya seperti bermimpi, maka puasanya tidak
batal, karena bukan disengaja atau bukan kehendaknya. Sabda Rasulullah
SAW, Telah diangkat pena dari tiga orang ; orang gila hingga waras,
orangtidur hingga bangun dan anak kecil hingga baligh.
7. Mendapat Haidh atau Nifas Wanita yang sedang berpuasa lalu tiba-tiba
mendapat haidh, maka otomatis puasanya batal. Meski kejadian itu
menjelang terbenamnya matahari. Begitu juga wanita yang mendapat darah
nifas, maka puasanya batal. Ini adalah merupakan ijma` para ulama Islam
atas masalah wanita yang mendapat haidh atau nifas saat sedang berpuasa.
G. Yang Tidak Membatalkan Puasa
1. Makan dan minum karena lupa Seseorang yang karena lupa tidak sengaja
makan dan minum pada saat puasa, maka ketika dia ingat, wajib
menghentikan makan dan minumnya itu. Apa yang telah dimakannya itu tidak
membatalkan puasanya meski cukup banyak dan lumayan kenyang. Sabda
Rasulullah SAW : Telah diangkat pena dari umat atas apa yang mereka
lupa, anak anak dan orang yang dipaksa. Sabda Rasulullah SAW : Dari Abi
Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Siapa yang berpuasa lalu makan
dan minum karena lupa, maka teruskan puasanya. Sesungguhnya Allah telah
memberinya makan dan minum.” HR Jamaah. Namun wajib yang melihat untuk
mengingatkan orang yang makan ketika berpuasa karena lupa.
2. Keluar mani dengan sendirinya Bila pada saat puasa seseorang tidur
dan dalam tidurnya itu dia bermimpi yang mengakibatkan keluarnya mani,
maka hal itu tidak membatalkan puasanya. Namun bila
19
secara sengaja melakukan hal-hal yang dapat membangkitkan birahi baik
melalui fikiran (imaginasi) atau melihat atau mendengarkan hal-hal yang
merangsang birahinya hingga mengakibatkan keluarnya mani, maka hal itu
membatalkan puasa. Karena semua itu termasuk dalam kategori sengaja.
Termasuk bila melalukan onani pada saat puasa.
3. Memakai celak mata Boleh memakai celak mata (alkuhl) pada saat
berpuasa dan tidak membatalkannya. Karena Rasulullah SAW juga pernah
menggunakannya pada saat berpuasa.
4. Berbekam Berbekam atau hijamah adalah salah satu bentuk pengobatan
dimana seseorang diambil darahnya untuk dikeluarkan penyakit. Metode ini
dikenal di negerio Arab dan beberapa negeri lainnya. Dari Ibni Abbas
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah berbekam dalam keadaan ihram
dan pernah pula berbekam dalam keadaan puasa.(HR. Bukhari dan Ahmad)
5. Bersiwak Bersiwak atau membersihkan gigi tidak membatalkan puasa.
Namun menurut Imam Asy-Syafi`i, bersiwak hukumnya makruh bila telah
melwati waktu zhuhur hingga sore hari. Alasan yang dikemukakan beliau
adalah hadits Nabi yang menyebutkan : Bau mulut orang yang puasa lebih
harum di sisi Allah dari aroma kesturi. Sedangkan bersiwak atau
menggosok gigi akan menghilangkan bau mulut. Namun bila bau mulut
mengganggu seperti habis makan makanan berbau, maka sebaiknya bersiwak.
6. Kumur dan istinsyak Kumur adalah memasukkan air ke dalam mulut untuk
dibuang kembali. Sedangkan istinsyak adalah memasukkan air ke dalam
lubang hidung untuk dibuang kembali. Keduanya boleh dilakukan saat puasa
meski bukan untuk keperluan berwudhu`. Namun harus dijaga jangan sampai
tertelan atau masuk ke dalam tubuh, karena akan membatalkan puasa.
7. Mandi dan berenang Mandi, beranang atau memakai pakaian yang dibasahi
agar dingin tidak membatalkan puasa. Begitu juga mengorek kuping atau
memasukkan batang pembersih ke dalam telinga. Semua itu tida termasuk
yang membalakan puasa
8. Kemasukan asap atau debu Kemasukan asap dan debu, kemasukan lalat
atau sisa rasa obat ke dalam mulut tidak membatalkan puasa, asal
sifatnya tidak disengaja dan bukan bikinan. Semua itu tidak membatalkan
puasa karena tidak mungkin menghindar dari hal-hal kebetulan seperti
itu.
9. Copot gigi, telinga kemasukan air Orang yang copot giginya tanpa sengaja dan kemasukan air di telinga tidak batal puasanya
10. Janabah dan bercumbu Jatuhnya seseorangkepada kondisi janabah tidak
membatalkan puasanya, kecuali bila sengaja. Karena itu bila mimpi basah
di siang hari bulan ramadhan dan tetap dalam keadaan junub hingga siang
hari, tidak membatalkan puasa. Bercumbu dengan istri tidak membatalkan
puasa selama tidak sampai keluar mani. Begitu juga menciumnya atau
memeluknya tidak membatalkan puasa.
11. Suntik Dalam kondisi sakit, terkadang pasien harus disuntik dengan
obat, maka suntikan obat itu tidak membatalkan puasa. Berbeda dengan
impus, maka impus membatalkan puasa, karena hakikat impus adalah
memasukkan makanan ke dalam tubuh.
12. Menghirup aroma wangi Boleh menghiurp atau mencium aroma wangi dari parfum atau wangi-wangian dan tidak membatalkan puasa.
20
H. Hal-hal yang membolehkan berbuka
Dalam keadaan tertentu, syariah membolehkan seseorang tidak berpuasa.
Hal ini adalah bentuk keringanan yang Allah berikan kepada umat Muhammad
SAW. Bila salah satu dari keadaan tertentu itu terjadi, maka bolehlah
seseorang meninggalkan kewajiban puasa.
1. Safar (perjalanan) Seorang yang sedang dalam perjalanan, dibolehkan
untuk tidak berpuasa. Keringanan ini didasari oleh Firman Allah SWT :
Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka
menggantinya di hari lain (QS Al-Baqarah : )
Sedangkan batasan jarak minimal untuk safar yang dibolehkan berbuka
adalah jarak dibolehkannya qashar dalam shalat, yaitu 47 mil atau 89 km.
Sebagian ulama mensyaratkan bahwa perjalanan itu telah dimulai sebelum
mulai berpuasa (waktu shubuh). Jadi bila melakukan perjalanan mulai
lepas Maghrib hingga keesokan harinya, bolehlah dia tidak puasa pada
esok harinya itu.
Namun ketentuan ini tidak secara ijma` disepakati, karena ada sebagian
pendapat lainnya yang tidak mensyaratkan jarak sejauh itu untuk
membolehkan berbuka. Misalnya Abu Hanifah yang mengatakan bahwa jaraknya
selama perjalanan tiga hari tiga malam. Sebagian mengatakan jarak
perjhalan dua hari. Bahkan ada yang juga mengatakan tidak perlu jarak
minimal seperti apa yang dikatakan Ibnul Qayyim.
Meski berbuka dibolehkan, tetapi harus dilihat kondisi berat ringannya.
Bila perjalanan itu tidak memberatkan, maka meneruskan puasa lebih
utama. Dan sebaliknya, bila perjalanan itu memang sangat berat, maka
berbuka lebih utama. Berbeda dengan keringanan dalam menjama` atau
mengqashar shalat dimana menjama` dan mengqashar lebih utama, maka dalam
puasa harus dilihat kondisinya. Meski dibolehkan berbuka, sesungguhnya
seseorang tetap wajib menggantinya di hari lain. Jadi bila tidak terlalu
terpaksa, sebaiknya tidak berbuka.
Hal ini ditegaskan dalam hadits Rasulullah SAW, Dari Abi Said al-Khudri
RA. Berkata,”Dulu kami beperang bersama Rasulullah SAW di bulan
Ramadhan. Diantara kami ada yang tetap berpuasa dan ada yang berbuka.
…Mereka memandang bahwa siapa yang kuat untuk tetap berpuasa, maka lebih
baik.(HR. Muslim)
2. Sakit Orang yang sakit dan khawatir bila berpuasa akan menyebabkan
bertambah sakit atau kesembuhannya akan terhambat, maka dibolehkan
berbuka puasa. Bagi orang yang sakit dan masih punya harapan sembuh dan
sehat, maka puasa yang hilang harus diganti setelah sembuhnya nanti.
Sedangkan orang yang sakit tapi tidak sembuh-sembuh atau kecil
kemungkinannya untuk sembuh, maka cukup dengan membayar fidyah, yaitu
memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya.
3. Hamil dan Menyusui Wanita yang hamil atau menyusui di bulan Ramadhan
boleh tidak berpuasa, namun wajib menggantinya di hari lain.
Ada beberapa pendapat berkaitan dengan hukum wanita yang haidh dan
menyusui dalam kewajiban mengganti puasa yang ditnggalkan. Pertama,
mereka digolongkan kepada orang sakit. Sehingga boleh tidak puasa dengan
kewajiban menggadha` (mengganti) di hari lain. Kedua, mereka
digolongkan kepada orang yang tidak kuat/mampu. Sehingga mereka
21
dibolehkan tidak puasa dengan kewajiban membayar fidyah. Ketiga, mereka
digolongkan kepada keduanya sekaligus yaitu sebagai orang sakit dan
orang yang tidak mampu, karena itu selain wajib mengqadha`, mereka wajib
membayar fidyah. Pendapat terahir ini didukung oleh Imam As-Syafi`I RA.
Namun ada juga para ulama yang memilah sesuai dengan motivasi
berbukanya. Bila motivasi tidak puasanya karena khawatir akan kesehatan /
kekuatan dirinya sendiri, bukan bayinya, maka cukup mengganti dengan
puasa saja. Tetapi bila kekhawatirannya juga berkait dengan anak yang
dikandungnya atau bayi yang disusuinya, maka selain mengganti dengan
puasa, juga membayar fidyah.
4. Lanjut Usia Orangyang lanjut usia dan tidak kuat lagi untuk berpuasa,
maka tidak wajib lagi berpuasa. Hanya saja dia wajib membayar fidyah,
yaitu memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya itu.
Firman Allah SWT Dan bagi orang yang tidak kuat/mampu, wajib bagi mereka
membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin. (QS Al-Baqarah)
5. Lapar dan Haus yang sangat Islam memberikan keringanan bagi mereka
yang ditimpa kondisi yang mengharuskan makan atau minum untuk tidak
berpuasa. Namun kondisi ini memang secara nyata membahayakan keselamatan
jiwa sehingga makan dan minum menjadi wajib. Seperti dalam kemarau yang
sangat terik dan paceklik berkepanjangan, kekeringan dan hal lainnya
yang mewajibkan seseorang untuk makan atau minum.
Firman Allah SWT Dan Janganlah kamu ceburkan jiwamu ke dalam kebinasaan.
(QS ) Namun kondisi ini sangat situasional dan tidak bisa digeneralisir
secara umum. Karena keringanan itu diberikan sesuai dengan tingkat
kesulitan. Semakin besar kesulitan maka semakin besar pula keringanan
yang diberikan. Sebaliknya, semakin ringan tingkat kesulitan, maka
semakin kecil pula keringanan yang diberikan.
Ini mengacu pada kaidah fiqih yang berbunyi : ÅÐÇ ÇÊÓÚ ÇáÃãÑ ÖÇÞ æÅÐÇ
ÖÇÞ ÇÊÓÚ Bila tingkat kesulitan suatu masalah itu luas (ringan), maka
hukumnya menjadi sempit (lebih berat). Dan bila tingkat kesulitan suatu
masalah itu sempit (sulit), maka hukumnya menjadi luas (ringan).
ÇáÖÑæÑÉ ÊÞÏÑ ÈÞÏÑåÇ Kedaruratan itu harus diukur sesuai dengan kadarnya (ukuran berat ringannya).
6. Dipaksa atau terpaksa Orang yang mengerjakan perbuatan karena dipaksa
dimana dia tidak mampu untuk menolaknya, maka tidak akan dihukum oleh
Allah. Karena semua itu diluar niat dan keinginannya sendiri. Termasuk
di dalamnya adalah orang puasa yang dipaksa makan atau minum atau hal
lain yang membuat puasanya batal. Sedangkan pemaksaan itu beresiko pada
hal-hal yang mencelakakannya seperti akan dibunuh atau disiksa dan
sejenisnya.
22
Rasulullah SAW bersabda : Telah diangkat pena dari orang yang dipaksa, anak-anak dan orang yang lupa.(HR. )
Ada juga kondisi dimana seseorang terpaksa berbuka puasa, misalnya dalam
kondisi darurat seperti menolong ketika ada kebakaran, wabah,
kebanjiran, atau menolong orang yang tenggelam. Dalam upaya seperti itu,
dia terpaksa harus membatalkan puasa, maka hal itu dibolehkan selama
tingkat kesulitan puasa itu sampai pada batas yang membolehkan berbuka.
Namun tetap ada kewajiban untuk mengganti puasa di hari lain.
7. Pekerja Berat Orang yang karena keadaan harus menjalani profesi
sebagai pekerja berat yang membutuhkan tenaga ekstra terkadang tidak
sanggup bila harus menahan lapar dalam waktu yang lama. Seperti para
kuli angkut di pelabuhan, pandai besi, pembuat roti dan pekerja kasar
lainnya.
Bila memang dalam kondisi yang membahayakan jiwanya, maka kepada mereka
diberi keringanan untuk berbuka puasa dengan kewajiban menggantinya di
hari lain. Tetapi mereka harus berniat dahulu untuk puasa serta makan
sahur seperti biasanya. Pada siang hari bila ternyata masih kuat untuk
meneruskan puasa, wajib untuk meneruskan puasa. Sedangkan bila tidak
kuat dalam arti yang sesungguhnya, maka boleh berbuka. Namun wajib
menngganti di hari lain serta tetap menjaga kehormatan bulan puasa
dengan tidak makan di tempat umum.
I. Qadha`, Fidyah dan Kaffarah
Ketika seseorang meninggalkan kewajiban ibadah puasa, maka ada
konsekuensi yang harus dikerjakan. Konskuensi itu merupakan resiko yang
harus ditanggung karena meninggalkan kewajiban puasa yangtelah
ditetapkan. Adapun bentuknya, ada beberapa bentuk, yaitu qada`
(mengganti puasa di hari lain), membayar fidyah (memberi makan fakir
miskin) dan membayar kaffarah (denda). Masing-masing bentuk itu harus
dikerjakan sesuai dengan alasan tidak puasanya.
1. Qadha` Qadha` adalah berpuasa di hari lain di luar bulan Ramadhan sebagai pengganti dari tidak berpuasa pada bulan itu.
Yang wajib mengganti (mengqadha`) puasa diahri lain adalah : a. Wanita
yang mendapatkan haidh dan nifas. Mereka diharamkan menjalankan puasa
pada saat mendapat haidh dan nifas. Karena itu wajib menggantinya di
hari lain
b. Orang sakit termasuk yang dibolehkan untuk tidak berpuasa Ramadhan.
Karena itu apabila telah sehat kembali, maka wjaib menggantinya di hari
lain setelah dia sehat.
c. Wanita yang menyusui dan hamil karena alasan kekhawatiran pada diri
sendiri. Mereka dibolehkan tidak berpuasa karena dapat digolongkan
sebagai orangsakit
d. Bepergian (musafir). Orang yang bepergian mendapat keringanan untuk
tidak berpuasa, tetapi harus mengganti di hari lain ketika tidak dalam
perjalanan.
23
e. Orang yang batal puasanya karena suatu sebab seperti muntah, keluar
mani secara sengaja, makan minum tidak sengaja dan semua yangmembatalkan
puasa. Tapi bila makan dan minum karena lupa, tidak membatalkan puasa
sehingga tidak wajib mengqadha`nya.
Dalam mengqadha` puasa, apakah harus berturut-turut atau boleh
dipisah-pisah asal jumlahnya sama ? Jumhur ulama tidak mewajibkan dalam
mengqadha` harus berturut-turut karena tidak ada nash yang menyebutkan
keharusan itu. Sedangkan Mazhab Zahiri dan Al-Hasan Al-Bashri
mensyaratkan berturut-turut. Dalilnya adalah hadits Aisyah yang
menyebutkan bahwa ayat Al-Quran dulu memerintahkan untuk mengqadha
secara berturut-turut. Namun menurut jumhur, kata-kata ‘berturut-turut’
telah dimansukh hingga tidak berlaku lagi hukumnya. Namun bila mampu
melakukan secara berturut-turut hukumnya mustahab menurut sebagian
ulama.
Bagaimana hukumnya bila Ramadhan telah tiba sementara masih punya hutang
qadha` puasa Ramadhan tahun lalu ? Para ulama berbeda pendapat dalam
hal ini. Sebagian fuqoha seperi Imam Malik, Imam as-Syafi`i dan Imam
Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa harus mengqadha` setelah Ramadhan dan
membayar kaffarah (denda). Perlu diperhatikan meski disebut dengan lafal
‘kaffarah’, tapi pengertiannya adalah membayar fidyah, bukan kaffarah
dalam bentuk membebaskan budak, puasa 2 bulan atau memberi 60 fakir
miskin. Ini dijelaskan dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya Dr.
Wahbah Az-Zuhaili.
Dasar pendapat mereka adalah qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang
meinggalkan kewajiban mengqadha` puasa hingga Ramadhan berikutnya tanpa
uzur syar`i seperti orang yang menyengaja tidak puasa di bulan Ramadhan.
Karena itu wajib mengqadha` serta membayar kaffarah (bentuknya Fidyah).
Sebagian lagi mengatakan bahwa cukup mengqadha` saja tanpa membayar
kaffarah. Pendapat ini didukung oleh Mazhab Hanafi, Al-Hasan Al-Bashri
dan Ibrahim An-Nakha`i. Menurut mereka tidak boleh mengqiyas seperti
yang dilakukan oleh pendukung pendapat di atas. Jadi tidak perlu
membayar kaffarah dan cukup mengqadha` saja.
2. Fidyah Fidyah adalah memberi makan kepada satu orang fakir miskin
sebagai ganti dari tidak berpuasa. Fidyah itu berbentuk memberi makan
sebesar satu mud sesuai dengan mud nabi. Ukuran makan itu bila
dikira-kira adalah sebanyak dua tapak tangan nabi SAW. Sedangkan
kualitas jenis makanannya sesuai dengan kebiasaan makannya sendiri.
Yang diwajibkan membayar fidyah adalah :
o Orang yang sakit dan secara umum ditetapkan sulit untuk sembuh lagi.
o Orang tua atau lemah yang sudah tidak kuat lagi berpuasa.
o Wanita yang hamil dan menyusui apabila ketika tidak puasa
mengakhawatirkan anak yang dikandung atau disusuinya itu. Mereka itu
wajib membayar fidyah saja menurut sebagian ulama, namu menurut Imam
Syafi`i selain wajib membayar fidyah juga wajib mengqadha` puasanya.
Sedangkan menurut pendapat lain, tidak membayar fidyah tetapi cukup
mengqadha`.
o Orang yang meninggalkan kewajiban meng-qadha` puasa Ramadhan tanpa
uzur syar`i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang. Mereka
wajib mengqadha`nya sekaligus membayar fidyah.
24
Berapa ukuran fidyah itu ? Sebagian ulama seperti Imam As-Syafi`i dan
Imam Malik menetapkan bahwa ukuran fidyah yang harus dibayarkan kepada
setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud gandum sesuai dengan
ukuran mud Nabi SAW. Sebagian lagi seperti Abu Hanifah mengatakan dua
mud gandum dengan ukuran mud Rasulullah SAW atau setara dengan setengah
sha` kurma/tepung atau setara dengan memberi makan siang dan makan malam
hingga kenyang.
Bila kewajiban membayar fidyah belum dibayarkan hingga masuk Ramadhan
berikutnya, apakah wajib membayar dua kali atau hanya sekali saja ?
Kewajiban membayar fidyah harus dibayarkan sebelum masuk bulan Ramadhan
tahun berikutnya. Tapi bila sampai Ramadhan tahun berikutnya belum
dibayarkan juga, maka sebagian ulama mengatakan bahwa fidyah itu menjadi
berlipat. Artinya harus dibayarkan dua kali, satu untuk tahun lalu dan
satu lagi untuk tahun ini. Demikian pendapat Imam As-Syafi`i. Menurut
beliau kewajiban membayar fidyah itu adalah hak maliyah (harta) bagi
orang miskin. Jadi julahnya akan terus bertambah selama belum
dibayarkan. Namun ulama lain tidak sependapat dengan pendapat As-Syafi`i
ini. Seperti Abu Hanifah, beliau mengatakan bahwa fidyah itu cukup
dibayarkan sekali saja meski telat dalam membayarnya.
3. Kaffarah Kaffarah adalah tebusan yang wajib dilakukan karena
melanggar kehormatan bulan Ramadhan. Yang mewajibkan seseorangmembayar
kaffarah adalah :
a. Berhubungan seksual siang hari bulan Ramadhan. Para fuqoha telah
bersepakat bahwa siapa yang melakukan perbuatan tersebut, wajib membayar
kaffarah. Seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan berkata,”Celaka aku
ya Rasulullah”. “Apa yang membuatmu celaka ? “. Aku berhubungan seksual
dengan istriku di bulan Ramadhan”. Nabi bertanya,”Apakah kamu punya uang
untuk membebaskan budak ? “. “Aku tidak punya”. “Apakah kamu sanggup
puasa 2 bulan berturut-turut ?”.”Tidak”. “Apakah kamu bisa memberi makan
60 orang fakir miskin ? “.”Tidak”. Kemudian duduk. Lalu dibawakan
kepada Nabi sekjeranjang kurma maka Nabi berkata,”Ambilah kurma ini
untuk kamu sedekahkan”. Orang itu menjawab lagi,”Adakah orang yang lebih
miskin dariku ? Tidak lagi orang yang lebih membutuhkan di barat atau
timur kecuali aku”. Maka Nabi SAW tertawa hingga terlihat giginya lalu
bersabda,”Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu”. Adapun batasan
hubungan seksual itu adalah bila terjadi persentuhan dua kelamin meski
tidak sampai penetrasi atau tidak keluar mani. Hal itu tetap dihitung
hubungan seksual yang membatalkan puasa sekaigus mewajibkan membayar
kaffarat.
b. Makan dan minum secara sengaja tanpa uzur. Pendapat ini dipegang oleh
sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Ast-Tsauri.
Namun fuqoha lainnya seperti imam As-syafi`i, Imam Ahmad bin Hanbal
serta Ahluz-Zahir mengatakan bahwa makan minum secara sengaja hanya
mewajibkan qadha` dan tidak perlu membayar kaffarah. Yang mewajibkan
bayar kaffarah hanya bila berhubungan seksual suami istri di siang hari
bulan Ramadhan.
Denda kaffarah itu ada tiga macam, yaitu :
o Memerdekakan budak
25
o Puasa 2 bulan berturut-turut Kewajiban puasa ini adalah sebagai
kaffarah dari dirusaknya kehormatan bulan Ramadhan. Selain wajib
mengganti hari yang dirusaknya itu dengan puasa di hari lain, ada
kewajiban berpuasa 2 bulan berturut-turut sesuai dengan hitungan bulan
qamariyah. Syarat untuk berturut-turut ini menjadi berat karena manakala
ada satu hari saja di dalamnya dimana dia libur tidak puasa, maka wajib
baginya untuk mengulangi lagi dari awal. Bahkan meski hari yang
ditinggalkannya sudah sampai pada hitungan hari yang paling akhir dari 2
bulan berturut-turut.
o Memberi makan 60 fakir miskin Pilihan ini adalah pilihan terakhir
ketika seseorang secara nyata tidak mampu melakukan kedua hal di atas.
Maka wajiblah memberi makan 60 orang fakir miskin sebagaimana yang
dijelaskan oleh Rasulullah SAW.
Sedangkan ukurannya banyaknya fidyah adalah
Siapa yang wajib membayar kaffarah, suami saja atau keduanya ? Para
fuqoha berbeda pandangan dalam hal ini. Sebagian mengatakan bahwa
kewajiban membayar kaffar ini hanya dibebankan kepada laki-laki saja dan
bukan pada istrinya, meski mereka melakukannya berdua, tetapi pelakunya
tetap saja jatuh pada laki-laki, karena biar bagaimanapun. Karena
laki-laki yang menentukan terjaditidaknya hubungan seksual. Pendaoat ini
didukung oleh Imam Asy-Syafi`i dan Ahli Zahir. Dalil yang mereka
gunakan adalah hadits tentang laki-laki yang melapor kepada Rasulullah
SAW bahwa dirinya telah melakukan hubungan suami istri di bulan
Ramadhan. Saat itu Rasulullah SAW hanya memerintahkan suami saja untuk
membayar kaffarah tanpa menyinggung sama sekali kewajiban membayar bagi
istrinya. Namun sebagian fuqoha lainnya berpendapat bahwa kewajiban
membayar kaffarah itu berlaku bagi masing-masing suami istri. Pendapat
ini didukung oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dan lainnya. Sedangkan
dalil yang merka gunakan adalah qiyas, yaitu mengqiyaskan kewajiban
suami kepada kewajiban istri pula.
Bagaimana bila berhubungan seksual suami istri karena lupa ? Para ulama
berbeda pandangan dalam masalah ini. Imam Abu Hanifah dan Imam
As-Syafi`i berpendapat bahwa bila lupa maka dimaafkan dan tidak perlu
mengqadha` juga tidak perlu membayar kaffarah. Namun Imam Malik
berpendapat wajib mengqadha` saja tanpa membayar kaffarah. Sedangkan
Imam Ahmad dan Ahliz Zahir berpendapat bahwa wajib mengqadha` dan wajib
pula membayar kaffarah.
Ketiga macam jenis kaffarah itu apakah boleh memilih atau harus urut ?
Sebagian ulama berpendapat bahwa kafarah itu harus dikerjakan sesuai
dengan urutannya, bukan atas dasar pilihan mana yang paling dia sukai.
Jadi yang pertama adalah kewajiban memerdekakan budak. Hal ini sesuai
dengan hadits tentang orang yang berhubungan dengan istrinya pada bulan
Ramadhan, dimana Rasulullah SAW memerintahkan pertama sekali adalah
untuk memerdekakan budak. Ketika dia tidak mampu karena miskin, maka
Rasulullah SAW memerintahkan pilihan kedua lalu pilihan ketiga. Pendapat
ini didukung oleh Imam Abu Hanifah dan Imam As-Syafi`i serta ulama
Kufiyyin. Namun Imam Malik berpendapat bahwa ketiga bentuk kaffarah itu
sifatnya pilihan. Silahkan memilih mana yang paling diinginkan untuk
melaksanakannya.
Bila berhubungan suami istri berulang-ulang, apakah wajib membayar
kaffarah sebanyak itu atau cukup membayar untuk sekali saja ? Para
fuqoha sepakat bila melakukan hubungan suami istri berkali-kali dalam
satu hari di
26
bulan Ramadhan, maka kewajiban membayar kaffarahnya hanya satu kali
saja. Namun bila pengulangan itu dilakukan di hari yang berbeda dan
belum membayar kaffarah, maka ada beberapa pendapat. Pendapat pertama
mengatakan bahwa wajib membayar kaffarah sebanyak hari melakukan
hubungan itu. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi`i.
Pendapat kedua mengatakan bahwa hanya wajib sekali saja membayar
kaffarahnya selama dia belum membayar untuk hari sebelumnya itu. Ini
adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan jamaahnya.
J. Sunnah-sunnah Dalam Puasa
Hal-hal yang disunnahkan dalam berpuasa adalah sebagai berikut :
1. Makan sahur dengan mengakhirkannya Para ulama telah sepakat tentang
sunnahnya sahur untuk puasa. Meski demiian, tanpa sahur pun puasa tetap
boleh.
Dari Anas RA. Bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Makan Sahurlah, karena sahur itu barakah”. (HR Bukhori dan Muslim)
Dari al-Mi`dam bin Ma`dikarb dari Nabi SAW. Bersbda, Herndaklah kamu
makan sahur karena sahur itu makanan yang diberkati.(HR. An-Nasa`i)
Makan sahur itu menjadi barakah karena salah satunya berfungsi untuk
mempersiapkan tubuh yang tidak akan menerima makan dan minum sehari
penuh. Selain itu, meski secara langsung tidak berkaitan dengan
penguatan tubuh, tetapi sahur itu tetap sunnah dan mengandung
keberkahan. Misalnya buat mereka yang terlambat bangun hingga mendekati
waktu subuh. Tidak tersisa waktu kecuali beberapa menit saja. Maka tetap
disunahkan sahur meski hanya dengan segelas air putih saja. Karena
dalam sahur itu ada barakah.
Dari Abi Said al-Khudri RA. “ Sahur itu barakah maka jangan tinggalkan
meski hanya dengan seteguk air. Sesungguhnya alah dan malaikat-Nya
bershalawat kepada orang-orang yang sahur. (HR Ahmad)
Disunahkan untuk mengakhirkan makan sahur hingga mendekati waktu shubuh.
Dari Abu Zar Al-Ghifari RA. Marfu`an,”Umatku masih dalam kebaikan selama
mendahulukan buka puasa dan mengakhirkan sahur.(Al-Hadits)
2. Berbuka dengan mendahulukannya Disunnahkan dalam berbuka puasa untuk
menta`jil atau mendahulukan berbuka sebelum shalat Maghrib. Meski hanya
dengan seteguk air atau sebutir kurma.
Dari Sahl bin Saad bahwa Nabi SAW bersabda,”Umatku masih dalam kebaikan selama mendahulukan berbuka.(HR. Bukhori dan Muslim)
Dari Anas RA. Berkata bahwa Rasulullah SAW berbuka dengan ruthab (kurma
muda) sebelum shalat. Bila tidak ada maka dengan kurma. Bila tidak ada
maka dengan minum air.(HR. Abu Daud, Hakim dan Tirmizy) 27
3. Berdoa ketika berbuka Disunnahkan membaca do`a yang ma`tsur dari
Rasulullah SAW ketika berbuka puasa. Karena do`a orang yang puasa dan
berbuka termasuk doa yang tidak tertolak.
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Bagi orang yang berpuasa ketika sedang berbuka ada doa yang
tak akan ditolak.
Tiga orang yang tidak tertolak doanya : Orang puasa hingga berbuka, imam yang adil dan orang yang dizhalimi. (HR. Tirmizy)
Sedangkan teks doa yang diajarkan Rasulullah SAW antara lain : Ya Allah,
kepada Engkaulah aku berpuasa dan dengan rizki dari-Mu aku berbuka.
Telah hilang haus dan telah basah tenggorakan dan telah pasti balasan
Insya Allah
4. Memberi makan orang berbuka Memberi makan saat berbuka bagi orang
yang berpuasa sangat dianjurkan karena balasannya sangat besar sebesar
pahala orang yang diberi makan itu tanpa dikurangi. Bahkan meski hanya
mampu memberi sabutir kurma atau seteguk air putih saja. Tapi lebih
utama bila dapat memberi makanan yang cuup dan bisa mengenyangkan
perutnya.
Sabda Rasulullah SAW :
Siapa yang memberi makan (saat berbuka) untuk orang yang puasa, maka dia
mendapat pahala seperti pahala orang yang diberi makannya itu tanpa
dikurangi sedikitpun dari pahalanya. HR At-Tirmizy, An-Nasai, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaemah.
5. Mandi Disunnahkan untuk mandi baik dari janabah, haidh atau nifas
sebelum masuk waktu fajar. Agar berada dalam kondisi suci saat melakukan
puasa dan terlepas dari khilaf Abu Hurairah yang mengatakan bahwa orang
yang berhadats besar tidak syah puasanya. Meski demikian, menurut
jumhur ulama apabila seseorang sedang mengalami junub dan belum sempat
mandi, padahal waktu subuh sudah masuk, maka puasanya syah. Adalah
Rasulullah SAW pernah masuk waktu subuh dalam keadaan junub karena jima`
bukan karena mimpi, kemudian beliau mandi dan berpuasa.
6. Menjaga lidah dan anggota tubuh Disunnahkan untuk meninggalkan semua
perkataan kotor dan keji serta perkataan yang membawa kepada kefasikan
dan kejahatan. Termasuk di dalamnya adalah ghibah (begunjing), namimah
(menagdu domba), dusta dan kebohongan. Meski tidak sampai membatalkan
puasanya, namun pahalanya hilang di sisi Allah SWT. Sedangkan perbuatan
itu sendiri hukumnya haram baik dalam bulan Ramadhan atau di luar
Ramadhan
Sabda Rasulullah SAW : Siapa yang tidak meninggalkan perkataan kotor dan
perbuatannya, maka Allah tidak butuh dia untuk meninggalkan makan
minumnya (puasanya). HR Bukhari, Abu Daud, At-Tirmizy, An-Nasai, Ibnu
Majah
Apabila kamu berpuasa, maka jangan berkata keji dan kotor. Bila ada
orang mencacinya atau memeranginya, maka hendaklah dia berkta,”Sungguh
aku sedang puasa.” Mengatakan aku sedang puasa dilakukan bila saat itu
sedang puasa Ramadhan yang hukumya wajib. Tetapi bila saat itu sedang
puasa sunnah, maka tidak perlu mengatakan
28
sedang puasa agar tidak menjadi riya`. Karena itu cukup dia menahan diri dan mengatakannya dalam hati.
7. Meninggalkan nafsu/syahwat Ada nafsu dan syahawat tertentu yang tidak
sampai membatalkan puasa, seperti menikmati wewangian, melihat sesuatu
yang menyenangkan dan halal, mendengarkan dan meraba. Meski pada
dasarnya tidak membatalkan puasa selama dalam koridor syr`I, namun
disunnahkan untuk meninggalkannya. Seperti bercumbu antara suami istri
selama tidak keluar mani atau tidak melakukan hubungan seksual,
sesungguhnya tidak membatalkan puasa. Tetapi sebaiknya hal itu
ditinggalkan untuk mendapatkan keutamaan puasa.
8. Memperbanyak shadaqah Termasuk diantaranya adalah memberi keluasan
belanja pada keluarga, berbuat ihsan kepada famili dan kerabat serta
memperbanyak shadaqah. Adalah Rasulullah SAW orangyang paling bagus
dalam kebajikan. Dan menjadi paling baik saat bulan Ramadhan ketika
Jibril mendatanginya. Adapun hikmah yang bisa di dapat dari perbuatan
ini adalah membesarkan hati kaum muslimin serta memberikan kegembiraan
pada mereka sebagai dorongan untuk beribadah kepada Allah SWT.
9. Menyibukkan diri dengan ilmu dan tilawah Disunnahkan untuk
memperbanyak mendalami ilmu serta membaca Al-Quran, shalawat pada Nabi
dan zikir-zikir baik pada saing hari atau malam hari puasa, tergantung
luangnya waktu untuk melakukannya. Jibril AS. Mendatangi Rasulullah SAW
pada tiap malam bulan Ramadhan dan mengajarkannya Al-Quran.
10. Beri`tikaf Disunnahkan untuk beri`tikaf terutama pada 10 hari
terakhir bulan Ramadhan. Salah satunya untuk mendapatkan pahala lailatul
qadar yang menurut Rasulullah SAW ada pada malam-malam 10 terakhir
bulan Ramadhan. Aisyah RA berkata,”Bila telah memasuki 10 malam terakhir
bulan Ramadhan, Nabi SAW menghidupkan malam, membangunkan keluarganya
(istrinya) dan meninggalkan istrinya (tidak berhubungan suami istri).
Juga disunnahkan untuk membaca pada lailatul qadar doa berikut : Çááåã
Åäß ÚÝæ ÊÍÈ ÇáÚÝæ ÝÇÚÝ Úäí Ya Allah, Sungguh Engkau mencintai maaf maka
maafkanlah aku.
K. Puasa yang diharamkan
Ada puasa pada waktu tertentu yang hukumnya haram dilakukan, baik karena waktunya atau karena kondisi pelakukanya.
1. Hari Raya Idul Fithri Tanggal 1 Syawwal telah ditetapkan sebagai hari
raya sakral umat Islam. Hari itu adalah hari kemenangan yang harus
dirayakan dengan bergembira. Karena itu syariat telah mengatur bahwa di
hari itu tidak diperkenankan seseorang untuk berpuasa sampai pada
tingkat haram. Meski tidak ada yang bisa dimakan, paling tidak harus
membatalkan puasanya atau tidak berniat untuk puasa.
2. Hari Raya Idul Adha Hal yang sama juga pada tanggal 10 Zulhijjah
sebagai Hari Raya kedua bagi umat Islam. Hari itu diharamkan untuk
berpuasa dan umat Islam disunnahkan untuk menyembelih hewan Qurban dan
membagikannya kepada fakir msikin dan kerabat serta keluarga. Agar
semuanya bisa ikut merasakan kegembiraan dengan menyantap hewan qurban
itu dan merayakan hari besar.
29
3. Hari Tasyrik Hari tasyrik adalah tanggal 11, 12 dan 13 bulan
Zulhijjah. Pada tiga hari itu umat Islam masih dalam suasana perayaan
hari Raya Idul Adha sehingga masih diharamkan untuk berpuasa. Pada tiga
hari itu masih dibolehkan utnuk menyembelih hewan qurban sebagai ibadah
yang disunnahkan sejak zaman nabi Ibrahim as.
4. Puasa sehari saja pada hari Jumat Puasa ini haram hukumnya bila tanpa
didahului dengan hari sebelum atau sesudahnya. Kecuali ada kaitannya
dengan puasa sunnah lainnya seperti puasa sunah nabi Daud, yaitu sehari
berpuasa dan sehari tidak. Maka bila jatuh hari Jumat giliran untuk
puasa, boleh berpuasa.
5. Puasa sunnah pada paruh kedua bulan Sya`ban Puasa ini mulai tanggal
15 Sya`ban hingga akhir bulan Sya`ban. Namun bila puasa bulan Sya`ban
sebulan penuh, justru merupakan sunnah. Sedangkan puasa wajib seperti
qadha` puasa Ramadhan wajib dilakukan bila memang hanya tersisa
hari-hari itu saja.
6. Puasa pada hari Syak Hari syah adalah tanggal 30 Sya`ban bila
orang-orang ragu tentang awal bulan Ramadhan karena hilal (bulan) tidak
terlihat. Saat itu tidak ada kejelasan apakah sudah masuk bulan Ramadhan
atau belum. Ketidak-jelasan ini disebut syak. Dan secara syar`i umat
Islam dilarang berpuasa pada hari itu.
7. Puasa Selamanya Diharamkan bagi seseorang untuk berpuasa terus setiap
hari. Meski dia sanggup untuk mengerjakannya karena memang tubuhnya
kuat. Tetapi secara syar`i puasa seperti itu dilarang oleh Islam. Bagi
mereka yang ingin banyak puasa, Rasulullah SAW menyarankan untuk
berpuasa seperti puasa Nabi Daud as yaitu sehari puasa dan sehari
berbuka.
8. Wanita haidh atau nifas Wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas
diharamkan mengerjakan puasa. Karena kondisi tubuhnya sedang dalam
keadaan tidak suci dari hadats besar. Apabila tetap melakukan puasa,
maka berdosa hukumnya. Bukan berarti mereka boleh bebas makan dan minum
sepuasnya. Tetapi harus menjaga kehormatan bulan Ramadhan dan kewajiban
menggantinya di hari lain.
9. Puasa sunnah bagi wanita tanpa izin suaminya Seorang istri bila akan
mengerjakan puasa sunnah, maka harus meminta izin terlebih dahulu kepada
suaminya. Bila mendapatkan izin, maka boleh lah dia berpuasa. Sedangkan
bila tidak diizinkan tetapi tetap puasa, maka puasanya haram secara
syar`i. Dalam kondisi itu suami berhak untuk memaksanya berbuka puasa.
Kecuali bila telah mengetahui bahwa suaminya dalam kondisi tidak
membuthkannya. Misalnya ketika suami bepergian atau dalam keadaan ihram
haji atau umrah atau sedang beri`tikaf.
Sabda Rasulullah SAW Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa tanpa izin
suaminya sedanga suaminya ada dihadapannya. Karena hak suami itu wajib
ditunaikan dan merupakan fardhu bagi istri, sedangkan puasa itu hukumnya
sunnah. Kewajiban tidak boleh ditinggalkan untuk mengejar yang sunnah.
L. Tanya Jawab Seputar Puasa
Rasulullah Menggunakan Hisab Atau Rukyat ?
Apakah hisab ru’yat itu? Manakah yang paling sering digunakan Nabi Muhammad SAW?
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
30
Hisab artinya hitungan sedangkan ru`yat adalah pandangan/penglihatan.
Istilah ilmu hisab maknanya adalah disiplin ilmu untuk menetukan
penanggalan berdasrkan hitungan matematis. Sedangkan ru`yat adalah
penetuan jatuhnya awal bulan qamariyah berdasarkan penghilatan mata atau
pengamatan ada tidaknya bulan sabit (hilal) tanggal satu pada hari
terakhir (tanggal 29) bulan qamariyah. Pengamatan dilakukan pada sore
hari menjelang matahari terbenam. Bila di hari itu nampak hilal, maka
dipastikan bahwa esok telah masuk kepada bulan baru atau tanggal satu.
Dan hari itu (tanggal 29) menjadi hari terakhir dari bulan sebelumnya.
Rasulullah SAW dalam beribadah selalu menjalankannya sesuai dengan
kehendak Allah. Dan apa yang dikerjakannya itu menjadi dasar hukum Islam
yang harus diikuti oleh umat Islam seluruhnya hingga akhir masa. Dalam
penentuan awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Ahda tidak pernah
Rasulullah SAW menentukannya berdasarkan hisab. Bukan karena di zaman
itu tidak ada ilmu hisab, tapi karena memang itulah yang dijadikan
ajaran Islam. Pada abad ke-7 dimana Rasulullah SAW hidup, ilmu hisab
sebenarnya sudah ada dan cukup maju.
Dan bila memang mau, tidak ada kesulitan sedikitpun untuk menggunakan
ilmu hisab di zaman itu. Apalagi bangsa arab terkenal sebagai pedangan
yang sering melakukan perjalanan ke berbagai peradaban besar dunia
seperti Syam dan Yaman. Namun belum pernah didapat sekalipun keterangan
dimana Rasulullah SAW memerintahkan untuk mempelajari ilmu hisab ini
terutama untuk penentuan awal bulan. Karena itu alasan yang pasti
mengapa Rasulullah SAW tidak menggunakan hisab dalam penetuan tanggal
adalah karena memang ajaran Islam tidak merekomendir penggunaan hisab
untuk dijadikan penentu penanggalan.
Sebaliknya Rasulullah SAW sejak awal telah mengunakan ru`yatul hilal dan
ada sekian banyak hadits menyebutkan hal itu. Dari Abi Hurairah ra.
bahwa Rasulullah SAW telah bersabda
”Puasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu (lebaran) dengan
melihatnya. Apabila tertutup awan, maka genapkanlah bulan sya`ban
menjadi 30 hari”. (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah SAW
bersabda,”Satu bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kamu puasa kecuali
melihat hilal. Namun bila hilal tertutup awan, maka genapkanlah menjadi
30 hari”. (HR. Bukhari)
Karena itu wajar bila semua ulama baik di zakan dahulu maupun di zaman
sekarang semuanya sepakat bahwa dalam menentukan pergantian kalender
hijriyah yang berkaitan dengan masalah jadwal ibadah seperti awal
ramadhan, jatuh hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha serta yang lainnya
adalah dengan menggunakan ru`yatul hilal. Hikmah di balik penggunaan
ru`yatul hilal tidak lain adalah bahwa agama Islam itu mudah. Tidak
memerlukan teknologi canggih untuk bisa menerapkannya. Juga tidak
membutuhkan perhitungan (hisab) yang njelimet untuk menentukannya.
Bahkan seorang arab badui yang tinggal di tengah padang pasir dan jauh
dari pusat peradaban bisa sekalipun bisa melakukannya.
Sebaliknya, meski sering dikatakan lebih ilmiyah, namun metode hisab itu
sendiri juga penuh dengan perbedaan. Karena ada banyak cara atau metode
penghitungan yang dikenal. Selain itu juga ada sekian banyak ketentuan
dan sistem yang dipakai oleh masing-masing pelaku hisab. Walhasil, meski
menggunakan ilmu hitung yang paling modern sekalipun, hasilnya tidak
selalu sama. Sehingga bila kita menelusuri leteratur fiqih baik klasik
maupun modern, maka kita hampir tidak mendapati metode hisab dalam
penentuan tanggal hijriyah.
Kalaupun hisab itu akan digunakan, maka sifatnya hanya sebagai pengiring
atau pemberi informasi umum tentang dugaan posisi hilal, namun bukan
sebagai eksekutor dimana hanya dengan hisab lalu belum apa-apa sudah
dipastikan jatuh awal Ramadhan. Ini jelas tidak bisa diterima dalam
Fiqih Islam. Sema orang yang pernah belajar fiqih apalagi di universitas
Islam,
31
pasti tahu hal itu. Karena itu aneh kiranya bila jabatan Menteri Agama
dipegang oleh seorang doktor syariah dari Universitas Ummul Quro Mekkah,
tapi kebijakannya dalam masalah penetapan awal Ramadhan masih lebih
bertumpu kepada hisab dan bukan ru`yatul hilal. Karena pendapat tentang
keabsahan hisab dalam penetuan awal Ramadhan dan sebagainya adalah
pendapat yang asing dan tidak dikenal dalam wilayah fiqih Islam.
Wallahu A`lam Bish-Showab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Puasa Sya’ban
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Ustadz PKS yang saya hormati, saya pernah
mendengar bahwa Rasulullah SAW banyak berpuasa di bulan sya’ban.
sebanyak apakah puasa Rasulullah SAW di bulan sya’ban ? Bolehkah
berpuasa setiap hari dibulan sya’ban ? ‘Amalan apa yang Rasulullah
lakukan di bulan rajab dan sya’ban ? Jazakumullah, Wassalamu’alaikum Wr.
Wb.
Assalamu’alikum wr. Wb. Rasulullah saw. Memang paling banyak puasa
Sunnah di bulan Sya’ban, beliau mencontohkan langsung kepada umatnya
dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, sebagaimana yang
diriwayatkan ‘Aisyah ra. berkata:” Saya tidak melihat Rasulullah SAW
menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak
melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan
Sya’ban” (HR Muslim). Bulan Sya’ban adalah bulan dimana amal shalih
diangkat ke langit.
Rasulullah SAW bersabda:
Dari Usamah bin Zaid berkata: Saya bertanya: “Wahai Rasulullah saw, saya
tidak melihat engkau puasa disuatu bulan lebih banyak melebihi bulan
Sya’ban”. Rasul saw bersabda:” Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia,
antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkat amal-amal kepada Rabb
alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam
kondisi puasa” (Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Huzaimah)
Namun, ada hadits lain yang melarang puasa Sya’ban jika sudah masuk
setengah bulan menuju Ramadhan. Kecuali yang biasa puasa Senin Kamis.
Jadi pada prinsipnya dianjurkan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban tapi
jangan disamakan dengan bulan Ramdhan. Wallahu ‘alam.
Puasa terus Menerus
Assalamu’alaikum wr.wb kepada Ustadz pengasuh rubik konsultasi yang dirahmati Allah Begini Ustadz saya mau bertanya :
1. Apakah ada tuntunan dari Rosul Saw mengenai berpuasa secara terus
menerus (pada siang hari)dalam rangka menuntut ilmu (di ponpes)? Dan
bagaimana hukumnya berpuasa seperti itu? 2. Begini bagaimana hukumnya
membayar zakat dengan uang pemberian orang tua yang non islam, karena
saya belum berpenghasilan? Demikian pertanyaan dari saya atas jawaban
Ustadz saya ucapakan Jazzakumullahu khoiron katsiron Wassalamu’alaikum
wr wb Hormat saya
1. Puasa terus menerus setiap hari tanpa berhenti tidak dianjurkan oleh
Rasulullah SAW. Bahkan ketika mendengar ada diantara shahabat yang ingin
melakukannya, beliau mencegahnya dan memberi alternatif untuk puasa
seperti nabi Daud as. Yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Ini adalah
bentuk puasa sunnah yang maksimal boleh dikerjakan oleh seseorang untuk
jangka waktu
32
selamanya. Namun bila hanya untuk jangka waktu tertentu seperti selama bulan Sya`ban atau bulan-bulan lainnya, maka boleh saja.
Tetapi berpuasa terus menerus seumur hidup setiap hari, maka hal itu
dilarang. Puasalah sehari dan berbukalah sehari itu adalah puasa nabi
Daud as. dan itu adalah puasa (sunnah) yang paling utama”. Aku
berkata,”Aku sanggup lebih dari itu”. Nabi SAW bersabda,”Tidak ada yang
lebih utama dari itu (puasa nabi Daud)”. Abdullah bin Amar
menceritakannya bahwa Rasululah SAW bersabda kepadanya,” ”Shalat yang
paling dicintai Allah adalah shalatnya Nabi Daud alaihis salam, beliau
tidur setengah malam lalu bangun sepertiganya dan tidur seperenamnya.
Dan puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Nabi Daud, beliau
puasa sehari dan berbuka sehari.”
2. Membayar zakat fitrah adalah kewajiban setiap muslim. Karena itu anda
wajib membayar zakat itu. Namun karena orang tua anda bukan muslim,
maka anda wajib membayarkan sendiri zakat itu. Masalah bahwa uang
berasal dari orang tua anda, tidak mengapa. Karena uang itu menjadi
milik anda begitu diberikannya kepada anda. Dan anda adalah pemilik uang
itu. Orang tua anda memang tidak wajib membayar zakat buat anda. Tapi
memberi uang atau nafkah adalah kewajiban orangtua anda.
Maka begitu anda punya uang, bayarkanlah zakat fitrahnya. Sedangkan
zakat mal hanya diwajib dibayarkan oleh mereka yang memiliki harta atau
berpenghasilan yang telah melebihi nisabnya. Bila anda belum bekerja dan
tidak punya penghasilan alias masih dibiayayai, tidak ada kewajiban
zakat mal dari anda. Wallahu a`lam bis-shawab
Batas Mulai Puasa
Ada sebagian orang berpendapat bahawa puasa dimulai ketika waktu
imsak.Ada yang berpendapat ketika subuh.Menurut para aktivis harakah
puasa dimulai ketika terbit. Saya membaca di terjemah Shahih Bukhari
maksud daripada benang hitam dan benang putih adalah hitamnya(gelapnya)
malam dan putihnya(terangnya) siang. Menurut analisis pak Ustadz manakah
pendapat yang paling shahih?
Sebenarnya yang paling tepat sesuai dengan keterangan dari sunnah
Rasulullah SAW adalah sejak masuknya waktu shubuh. Saat itulah
sesungguhnya puasa dimulai dan bukan waktu imsak atau terbitnya fajar.
Dalam AL-Quran disebutkan : Makan dan minumlah kamu semua, hingga terang
bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. (Qs. Al-Baqarah: 187).
Fajar yang dimaksud bukan terbitnya matahari tapi fajar masuknya waktu
subuh. Adapun imsak sekedar tanda untuk bersiap-siap mulai menahan dari
makan dan minum. Imsak bukanlah titik start untuk mulai berpuasa.
Biasanya imsak ini dimulai kira-kira 10 menit sebelum waktu subuh
menjelang. Gunanya agar kita punya persiapan ketika waktu subuh masuk
dan tidak dalam keadaan makan atau minum saat masuk waktu untuk
berpuasa. Sedangkan terbitnya matahari adalah menandakan bahwa waktu
subuh telah selasai. Wallahu a`lam bis-shawab. o
Puasa Daud
Pak Ustadz,saya ingin bertanya bagaimanakah hukumnya melakukan puasa
Daud,karena ada yg pernah bilang jika melakukan puasa daud genap 40 hari
semua keinginannya akan terkabul,benarkah demikian.Bagaimana juga
dengan puasa mutih dan ngrowot yaitu berpuasa tapi hanya berbuka
menggunakan hbuah2an,dilihat dari ajaran agama islam,mohon
penjelasannya,terima kasih 33
Puasa daud adalah puasa yang disyariatkan kepada Nabi Daud dan oleh
Rasulullah SAW dijadikan puasa sunnah kepada ummatnya. Banyak sekali
fadhilah dan keutamaan puasa Daud ini seperti yang banyak dituangkan
dalam hadits.
Dalam Shahih Bukhori Juz 1 halaman 380 hadits nomor 1097 disebutkan :
Abdullah bin Amar menceritakannya bahwa Rasululah SAW bersabda
kepadanya,” ”Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalatnya Nabi
Daud alaihis salam, beliau tidur setengah malam lalu bangun sepertiganya
dan tidur seperenamnya. Dan puasa yang paling dicintai Allah adalah
puasa Nabi Daud, beliau puasa sehari dan berbuka sehari.”
Dan masih banyak lagi nash-nash yang senada yang menganjurkan puasa Nabi
Daud. Sedangkan puasa mutih dan ngrowot seperti yang anda sebutkan ukan
termasuk puasa yang disyariatkan oleh ajaran Islam. Karena itu hukumnya
tidak boleh dilakukan dengan niat sebagai ritual ibadah. Sedangkan
puasa yang dianjurkan dokter untuk tidak memakan jenis makanan tertentu
(seperti diet) dan sejenisnya demi urusan kesehatan medis, tidak
terkaitt demgam urusan ritual ibadah, tidak masalah untuk dilakukan.
Wallahu a`lam bis-shawab.
Puasa Sunnah dan Bayar Hutang Puasa
Apakah seorang muslimah boleh melakukan puasa syawal dulu baru membayar hutang puasanya.
Pada dasrnya tidak ada larangan untuk melakukan puasa sunnah syawwal
meski masih punya hutang puasa wajib Ramadhan. Hal ini disebabkan waktu
yang tersedia untuk membayar puasa qadha` Ramadhan itu terbentang luas
hingga menjelang Ramadhan tahun depan (berikutnya). Sedangkan kesempatan
untuk puasa sunnah Syawwal hanya terbatas pada bulan Syawwal saja.
Disisi lain, menggabungkan dua niat dengan satu amal, yaitu berpuasa di
bulan Syawwal dengan niat puasa sunnah sekaligus membayar qadha`,
bukanlah pilihan yang dibenarkan oleh kebanyakan ulama. Karena
masing-masing memliki dasar hukum dan landasan yang berbeda. Tetapi bila
bisa mengqadha` terlebih dahulu di bulan syawwal dan kemudian masih ada
kesempatan berpuasa 6 hari di bulan Syawwal, tentu lebih utama. Wallahu
a`lam bis-shawab.
Puasa Senin Kamis dan Puasa Di Hari Ulang Tahun
Saya sering puasa senin kamis, setelah saya mengaji lagi, sehingga saya
mendapatkan, nas tentang puasa Senin kamis nya nabi. Nabi puasa Senin
karena hari kelahiranya, dan Hari kamis sebagai penyerahan amalnya
manusia karena besuk kita akan menuju hari yang mulia. Kepada ulama
pengasuh rubrik ini. tolong berikan saya dasar yang jelas untuk kita
melakukan puasa Senin & Kamis. atau bukan senin kamis bagi yang
lahir hari selasa menjadi selasa kamis. Mohon maaf atas segala
kelhilapan atas kata-2 saya Amiin .
Assalamu `alaikum Wr. Wb. Ketentuan tentang masyru`iyah puasa senin
kamis memang di dasarkan pada hadits yang didalamnya ada komentar
Rasulullah SAW tentang manusabahnya. Yaitu pada hari senin dan kamis
diserahkan amal manusia.
“Sesungguhnya amal manusia itu diperlihatkan/dilaporkan setiap hari
Senin dan Kamis. Lalu Allah mengampuni setiap muslim atau setiap
mukimin, kecuali metahajirin. Beliau berkata,”akhir dari keduanya”. HR.
Ahmad dengan sanad shahih. 34
Rasulullah SAW juga ditanya tentang puasa hari Senin. Beliau
menjawab,”Itu hari kelahiranku dan diturnkan wahyu”. HR. Muslim dan
Ahmad.
Meski disebutkan kaitannya dengan hari lahir Rasulullah SAW dan turunnya
wahyu, namun dalam konteks syariah, telah menjadi puasa sunnah buat
seluruh umat Islam. Dan tidak dikaitkan dengan hari lahir masing-masing.
Sedangkan berpuasa pada hari kelahiran tidak disunnahkan dalam Islam
dan hadits ini tidak bisa dijadikan dalil masyru`iyahnya. Para ulama pun
tidak ada yang menjadikan hadits ini sebagai dasar dari disunnahkannya
puasa di hari ulang tahun kelahiran.
Wallahu a`lam bis-shawab. Waassalamu `alaikum Wr. Wb.
Puasa Syawwal Dan Bayar Qadha` Dulu
Setelah selesai puasa ramadhan, Ane mau puasa syawal, tetapi ane juga
punya hutang puasa ramadhan, yang manakah sebaiknya didahulukan, puasa
syawal atau puasa bayar hutang? Sedangkan sebagai wanita tentu kita
nanti datang haid pada setiap bulannya.
Assalamu `alaikum Wr. Wb. Pada dasrnya tidak ada larangan untuk
melakukan puasa sunnah syawwal meski masih punya hutang puasa wajib
Ramadhan. Hal ini disebabkan waktu yang tersedia untuk membayar puasa
qadha` Ramadhan itu terbentang luas hingga menjelang Ramadhan tahun
depan (berikutnya). Sedangkan kesempatan untuk puasa sunnah Syawwal
hanya terbatas pada bulan Syawwal saja.
Disisi lain, menggabungkan dua niat dengan satu amal, yaitu berpuasa di
bulan Syawwal dengan niat puasa sunnah sekaligus membayar qadha`,
bukanlah pilihan yang dibenarkan oleh kebanyakan ulama. Karena
masing-masing memliki dasar hukum dan landasan yang berbeda. Tetapi bila
bisa mengqadha` terlebih dahulu di bulan syawwal dan kemudian masih ada
kesempatan berpuasa 6 hari di bulan Syawwal, tentu lebih utama. Wallahu
a`lam bis-shawab. Waassalamu `alaikum Wr. Wb
Puasa Kok Onani
ass wr wb, saya ingin menanyakan hukum pd saat bln puasa ramadhan
melakukan masturbasi/onani sehingga keluar seperma ia sedang puasa, dan
itu dilakukan pada waktu yang lampau kira2 8th silam, karena masih
merasa berdosa, walaupun ia telah melakukan puasa di bulan lain.
pertannyaan. 1. apakah secara syari ia terkena hukum seperti orang
melakukan zina disiang hari?? 2. Jika terkena fidyah atau puasa
berturut-turut 2 bulan atau cukup membayar puasa di bulan lain sebanyak
yg batal. 3. fidyah berapa yg harus dibayar? 4. Bagaimana agar kita
mendapat ampun dr Allah akibat kelalian pd masa lampau? demikian ustad
jazakumullah khairan katsira. wasalam budiman
ass wr wb,
1. Onani diharamkan hukumnya oleh sebagian ulama dan sebagian yang lain
membolekannya dengan catatan dan persyaratan. Dan beronani sehingga
mengakibatkan keluarnya sperma, akan membatalkan puasa seseorang. Karena
itu wajib baginya untuk mengganti puasa dihari lain. Dan onani meski
diharamkan oleh sebagian ulama, namun bukanlah zina yang diharamkan
secara mutlak oleh Al-Quran dan sunnah.
2. Beronani di siang hari bulan puasa membatalkan puasa. Cukup mengganti
dengan berpuasa di hari lainnya. Tapi tidak sama dengan orang yang
berhubungan seksual dengan istrinya di siang hari bulan puasa. Buat
mereka, tidak cukup sekedar mengganti puasa di hari lain, teapi wajib
35
membayar kaffarat, yaitu membebaskan budak, atau puasa 2 bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin.
3. Sebagian ulama mengatakan bahwa bila menyengaja berbuka puasa di
siang hari di bulan ramadhan selain wajib mengganti maka wajib pula
membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin.
4. Minta ampun kepada Allah adalah dengan tobat kepadanya dan jalannya
paling tidak ada tiga tingkatan : – berhenti dari apa yang telah
dikerjakan – menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi – meminta ampun
kepada Allah Wallahu a`lam bishshowab.
Puasa Yaumul Bidh Apakah Harus 3 hari
Assal’amualaikum Wr. Wb. Pak Ustadz yang dirahmati Allah, saya ingin
bertanya: Apakah puasa yaumul bidh harus 3 hari (tgl 13,14,15),
bagaimana kalau salah satu diantara tgl tersebut kita tidak berpuasa.
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Jika anda ingin melaksanakan shaum bidh maka disunahkan melaksanakannya
selama tiga hari berturut-turut yaitu 13, 14 dan 15 dari penanggalan
tahun hijriyyah. Dan jika tidak melaksanakan shaum itu sepenuhnya maka
hal itu tidak dilarang.
Bahkan dalam salah satu riwayat, Rasulullah SAW biasa melaksanakan shaum
selama tiga hari setiap bulannya tanpa memperhatikan hari keberapa
pelaksanaannya.
Dari Mu’adzah ad ‘Adwiyah seseungguhnya ia pernah bertanya kepada
‘Aisyah RA: Apakah Rasulullah SAW biasa melaksanakan shaum selam tiga
hari setiap bulannya? Aisyah menjawab: ia. Ia pun bertanya lagi:
Hari-hari apa saja yang biasanya Rasulullah SAW melaksanakan shaum?
Aisyah pun menjawab: Tidak pernah Rasulullah SAW memperhatikan hari
keberapa dari setiap bulannya beliau melaksanakan shaum”. (HR. Muslim)
Wallahu a`lam bis-shawab. Waassalamu `alaikum Wr. Wb.
Puasa Tiga Hari Berturut-turut
Saya beberapa hari yang lalu sempat berkonslutasi dengan seorang yang
pintar , yang melakukan rajah (mirip dengan meramal) dan hasilnya adalah
mengharuskan saya untuk puasa tiga hari berturut turut. hari rabu-kamis
dan jumat, selain itu saya juga diberi air putih yang telah diberi doa.
Yang ingin saya tanyakan apakah dengan berpuasa seperti itu saya telah
melakukan bidah. Apakah perbuatan saya termasuk sirik, karena dari
beberapa hadis yang sempat saya baca , nabi muhammad melarang keras
ummatnya mendatangi ahli ramal,nujum dukun atau apapun namanya
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Rasulullah SAW melarang dengan tegas, kepada setiap muslim untuk
mendatangi orang “pintar”, ahli ramal, dukun, tukang tenung, para normal
dan sebaginya, karena hal tersebut bertentangan dengan aqidah Islam
yang menyerahkan segala perkara ghaib kepada Alloh SWT.
36
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal,
kemudian ia bertanya kepadanya tentang sesuatu hal dan membenarkan apa
yang dia katakan, maka sholatnya tidak akan diterima selama 40 hari” (HR
Muslim 4/1751)
Dari Abu Hurairoh RA dari Nabi SAW, beliau bersabda:”Barang siapa yang
mendatangi tukang tenung lalu membenarkan apa yang dikatakannya maka ia
telah mengkufuri apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW”(HR Abu Daud,
Bukhori, Ahmad dan Tirmidzy)
Oleh karena itu, apa yang anda lakukan merupakan dosa besar sebagaimana
dijelaskan oleh kedua hadits di atas. Ada pun shaum yang anda laksanakan
bukanlah suatu ibadah Oleh karena itu segeralah bertaubat kepada-Nya
dengan memperbanyak ibadah. Dan jangan pernah lagi melakukan hal yang
sama.
Wallahu a`lam bishshowab. Wassalamu `alaikum Wr. Wb.
Puasa Selama Setahun
Assalamualaikum. Saya mempunyai niat untuk berpuasa selama setahun penuh
( kecuali hari yang dilarang ) Dengan niat Lillahita’alla. Apa hukumnya
bila saya melakukan puasa selama setahun itu ??? Wassalam,….
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Islam adalah agama yang sangat sesuai dengan fithrah manusia. Tidak ada
satu pun perintah/kewajiban dalam agama Islam yang di atas kemampuan
manusia untuk melakukannya, semua kewajiban dalam agama Islam senantiasa
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki manusia.
Alloh SWT berfirman: “Alloh tidak akan membebani kepada setiap jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya” (QS Al-Baqoroh: 286)
Oleh karena itu, Rasulullah SAW melarang para sahabatnya yang berniat
melakukan ibadah di luar kemapuan manusia. Karena kalau hal tersebut
dilakukan maka lambat-laun akan menimbulkan kebosanan yang pada akhirnya
akan membuat orang tersebut meninggalkan ibadah tersebut.
Dari Abdulloh bin ‘Amr RA, ia berkata: Rasulullah SAW diberitahu
bahwasanya aku berkata: “Demi Alloh aku akan melaksanakan shaum setiap
hari dan melaksanakan sholat sepanjang malam selama aku masih hidup, aku
berkata kepadanya: aku telah mengatakannya demi bapakku dan ibuku.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup
melaksanakannya, shaumlah kamu dan berbukalah, sholatlah kamu dan
tidurlah, dan shaumlah kamu setiap bulan selama tiga hari karena
sesungguhnya satu kebaikan diberi pahala sepuluh kali lipat, dan hal
tersebut laksana shaum sepanjang tahun”. Aku menjawab: “Aku lebih mapu
dari itu”.
Beliau menjawab: “Shaumlah satu hari dan berbukalah dua hari”. Aku
menjawab: “Aku lebih mampu lebih dari itu”. Beliau bersabda: “Shaumlah
satu hari dan berbukalah satu hari, hal tersebut sebagaimana shaum Daud
AS”. Aku menjawab: “aku lebih mampu dari itu”. Lalu Nabi SAW bersabda:
“Tidak ada yang lebih utama dari itu” (HR Bukhori 1976, Muslim 1159)
37
Oleh karena itu, alangkah baiknya anda pun melaksanakan ibadah shaum
sunnah sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat
tersebut agar sesuai dengan perintah beliau.
Wallahu a`lam bishshowab. Wassalamu `alaikum Wr. Wb.
I’TIKAF
Diantara rangkaian ibadah-ibadah dalam bulan suci Ramadhan yang dangat
dipelihara sekaligus diperintahkan (dianjurkan ) oleh Rasulullah SAW
adalah i’tikaf. setiap muslim dianjurkan (disunnatkan) untuk beri’tikaf
di masjid, terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. I’tikaf
merupakan sarana meditasi dan kontemplasi yang sangat efektif bagi
muslim dalam memelihara keislamannya khususnya dalam era globalisasi,
materialisasi dan informasi kontemporer.
FAQ
I. Definisi I’tikaf Para ulama mendefinisikan i’tikaf yaitu berdiam atau
tinggal di masjid dengan adab-adab tertentu, pada masa tertentu dengan
niat ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT . Ibnu Hazm berkata: I’tikaf
adalah berdiam di masjid dengan niat taqorrub kepada Allah SWT pada
waktu tertentu pada siang atau malam hari. ( al Muhalla V/179)
II. Hukum I’tikaf Para ulama telah ber-ijma’ bahwa i’tikaf khususnya 10
hari terakhir bulan Ramadhan merupakan suatu ibadah yang disyariatkan
dan disunnatkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri senantiasa
beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari. A’isyah, Ibnu Umar dan
Anas ra meriwayatkan: “Adalah Rasulullah SAW beri’tikaf pada 10 hari
terakhir bulan Ramadhan ” ( HR. Bukhori & Muslim)
Hal ini dilakukan oleh beliau hingga wafat, kecuali pada tahun wafatnya
beliau beri’tikaf selama 20 hari. Demikian halnya para shahabat dan
istri beliau senantiasa melaksanakan 38
ibadah yang amat agung ini. Imam Ahmad berkata: ” Sepengetahuan saya tak seorang pun ulama mengatakan i’tikaf bukan sunnat”.
III. Fadhilah ( keutamaan ) I’tikaf Abu Daud pernah bertanya kepada Imam
Ahmad: Tahukan anda hadits yang menunjukkan keutamaan I’tikaf? Ahmad
menjawab : tidak kecuali hadits lemah. Namun demikian tidaklah
mengurangi nilai ibadah I’tikaf itu sendiri sebagai taqorrub kepada
Allah SWT. Dan cukuplah keuatamaanya bahwa Rasulullah SAW, para
shahabat, para istri Rasulullah SAW dan para ulama’ salafus sholeh
senantiasa melakukan ibadah ini.
IV. Macam-macam I’tikaf I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam; satu
sunnah, dan dua wajib. I’tikaf sunnah yaitu yang dilakukan secara
sukarela semata-mata untuk bertaqorrub kepada Allah SWT seperti i’tikaf
10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dan I’tikaf yang wajib yaitu yang
didahului dengan nadzar (janji), seperti : “Kalau Allah SWT menyembuhkan
sakitku ini, maka aku akan beri’tikaf.
V. Waktu I’tikaf Untuk i’tikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu
yang dinadzarkan , sedangkan i’tikaf sunnah tidak ada batasan waktu
tertentu. Kapan saja pada malam atau siang hari, waktunya bisa lama dan
juga bisa singkat. Ya’la bin Umayyah berkata: ” Sesungguhnya aku berdiam
satu jam di masjid tak lain hanya untuk i’tikaf”.
VI. Syarat-syarat I’tikaf. Orang yang i’tikaf harus memenuhi
kriteria-kriteria sebagai berikut : 1. Muslim. 2. Ber-akal 3. Suci dari
janabah ( junub), haidh dan nifas.
Oleh karena itu i’tikaf tidak diperbolehkan bagi orang kafir, anak yang
belum mumaiyiz (mampu membedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas.
VII. Rukun-rukun I’tikaf 1. Niat (QS. Al Bayyinah : 5), (HR: Bukhori
& Muslim tentang niat) 2. Berdiam di masjid (QS. Al Baqoroh : 187)
Disini ada dua pendapat ulama tentang masjid tempat i’tikaf . Sebagian
ulama membolehkan i’tikaf disetiap masjid yang dipakai shalat berjama’ah
lima waktu. Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid
dan untuk menjaga pelaksanaan shalat jama’ah setiap waktu.
Ulama lain mensyaratkan agar i’tikaf itu dilaksanakan di masjid yang
dipakai buat shalat jum’at, sehingga orang yang i’tikaf tidak perlu
meninggalkan tempat i’tikafnya menuju masjid lain untuk shalat jum’at.
Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafi’iyah bahwa yang afdhol
yaitu i’tikaf di masjid jami’, karena Rasulullah SAW i’tikaf di masjid
jami’. Lebih afdhol di tiga masjid; masjid al-Haram, masjij Nabawi, dan
masjid Aqsho.
VIII. Awal dan akhir I’tikaf Khusus i’tikaf Ramadhan waktunya dimulai
sebelum terbenam matahari malam ke 21. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
” Barangsiapa yang ingin i’tikaf dengan ku, hendaklah ia beri’tikaf
pada 10 hari terakhir Ramadhan (HR. Bukhori). 10 (sepuluh) disini adalah
jumlah malam, sedangkan malam pertama dari sepuluh itu adalah malam ke
21 atau 20.
Adapun waktu keluarnya atau berakhirnya, kalau i’tikaf dilakukan 10
malam terakhir, yaitu setelah terbenam matahari, hari terakhir bulan
Ramadhan. Akan tetapi beberapa
39
kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menuggu sampai shalat ied.
IX. Hal-hal yang disunnahkan waktu i’tikaf Disunnahkan agar orang yang
i’tikaf memperbanyak ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT , seperti
shalat, membaca al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar,
shalawat kepada Nabi SAW, do’a dan sebagainya. Termasuk juga didalamnya
pengajian, ceramah, ta’lim, diskusi ilmiah, tela’ah buku tafsir, hadits,
siroh dan sebagainya. Namun demikian yang menjadi prioritas utama
adalah ibadah-ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama meninggalkan segala
aktifitas ilmiah lainnya dan berkonsentrasi penuh pada ibadah-ibadah
mahdhah.
X. Hal-hal yang diperbolehkan bagi mu’takif (orang yang beri’tikaf)
1. Keluar dari tempat i’tikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istrinya Shofiyah ra. (HR.
Riwayat Bukhori Muslim)
2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
3. Keluar dari tempat keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang
air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya),
dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi ia
harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluanya .
4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.
XI. Hal-hal yang membatalkan I’tikaf
1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar,
karena meninggalkan salah satu rukun i’tikaf yaitu berdiam di masjid.
2. Murtad ( keluar dari agama Islam ) (QS. 39: 65
3. Hilangnya akal, karena gila atau mabuk
4. Haidh
5. Nifas
6. Berjima’ (bersetubuh dengan istri) (QS. 2: 187). Akan tetapi memegang
tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan
istri- istrinya.
7. Pergi shalat jum’at ( bagi mereka yang membolehkan i’tikaf di mushalla yang tidak dipakai shalat jum’at)
XII. I’tikaf bagi Muslimah I’tkaf disunnahkan bagi wanita sebagaimana
disunnahkan bagi pria. Selain syarat-syarat yang disebutkan tadi,
i’tikaf bagi kaum wanita harus memenuhi syarat-syarat lain sbb:
1. Mendapat izin (ridlo) suami atau orang tua. Hal itu disebabkan karena
ketinggian hak suami bagi istri yang wajib ditaati, dan juga dalam
rangka menghindari fitnah yang mungkin terjadi.
2. Agar tempat i’tikaf wanita memenuhi kriteria syari’at. Kita telah
mengetahui bahwa salah satu rukun atau syarat i’tikaf adalah masjid.
Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda pendapat tentang masjid yang
dapat dipakai wanita beri’tikaf. Tetapi yang lebih afdhol- wallahu
‘alam- ialah tempat shalat di rumahnya. Oleh karena bagi wanita tempat
shalat dirumahnya lebih afdhol dari masjid wilayahnya. Dan masjid di
wilayahnya lebih afdhol dari masjid raya. Selain itu lebih seiring
dengan tujuan umum syari’at Islamiyah, untuk menghindarkan wanita
semaksimal mungkin dari tempat keramaian kaum pria, seperti tempat
ibadah di masjid. Itulah sebabnya wanita tidak diwajibkan shalat jum’at
dan shalat jama’ah di masjid. Dan seandainya ke masjid ia harus berada
di belakang. Kalau demikian, maka i’tikaf yang justru membutuhkan waktu
lama di 40
masjid , seperti tidur, makan, minum, dan sebagainya lebih
dipertimbangkan. Ini tidak berarti i’tikaf bagi wanita tidak diperboleh
di masjid. Wanita bisa saja i’tikaf di masjid dan bahkan lebih afdhol
apabila masjid tersebut menempel dengan rumahnya, jama’ahnya hanya
wanita, terdapat tempat buang air dan kamar mandi khusus dan sebagainya.
Hidayatullah.com, Jumat, 29 Oktober 2004 I’TIKAF
Pada masa sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan i’tikaf (berdiam diri
di masjid). Hal ini terus dilakukan Rasulullah sampai beliau wafat
Sudah semestinya kaum Muslimin melaksanakan sunnah yang diajarkan sosok
teladan. Agar i’tikaf bisa memberikan hasil sesuai yang diharapkan dan
agar orang yang beri’tikaf keluar dari masjid dalam kondisi telah
diampuni dosa-dosanya, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan, yaitu:
Niat yang Baik Hendaklah orang yang ingin beri’tikaf memurnikan niatnya
untuk mencari keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, meraih derajat di
akhirat dengan cara melepaskan diri dari kegiatan dunia dan mengisinya
dengan amaliyah akhirat, serta menghidupkan sunnah Rasulullah. Sepuluh
Hari Terakhir Bulan Ramadhan Inilah sunnah Rasulullah, yang berlandaskan
pada hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha,
“Bahwasanya Rasulullah beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan
Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf
setelahnya.” Boleh saja beri’tikaf selain waktu-waktu itu, akan tetapi
tetap saja yang terbaik adalah pada sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan. Di Masjid Jami’ (Agung) Tidak sah bila seseorang beri’tikaf di
rumah. Rasulullah mencontohkan i’tikaf di masjid. Allah berfirman,
Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam masjid.
(Al-Baqarah [2]: 187). Ayat ini menunjukkan bahwa tempat i’tikaf adalah
masjid. Seyogyanya orang yang beri’tikaf memilih masjid jami’ (yang
menyelenggarakan shalat Jum’at) sehingga ia tidak perlu pindah dari
masjid untuk menunaikan shalat Jum’at, berdasarkan kepada perkataan
Aisyah, “Yang disunnahkan kepada orang yang sedang beri’tikaf ialah ia
tidak menjenguk orang sakit, tidak melayat jenazah, tidak menyentuh
wanita, tidak mencampurinya, tidak keluar masjid untuk satu urusan pun
kecuali urusan yang tidak mungkin ia tinggalkan, tidak ada i’tikaf
kecuali disertai dengan puasa dan tidak ada i’tikaf kecuali di masjid
jami’.” Di Mihrab atau Tenda Khusus Cara ini akan membantu orang yang
beri’tikaf untuk menyendiri bersama Tuhannya dan tidak menghabiskan
waktu untuk bercakap-cakap dengan temannya. Rasulullah juga melakukan
cara ini, sebagaimana yang dikisahkan dalam hadits yang diriwayatkan
dari Aisyah, “Bahwasanya Rasulullah jika hendak beri’tikaf beliau
menunaikan shalat Shubuh lalu memasuki tempat i’tikafnya, dan suatu
ketika beliau ingin beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan
Ramadhan, lalu beliau memerintahkan untuk dirikan tenda untuknya…”
Memasuki Tenda Setelah Shalat Shubuh Yaitu pada hari pertama dari
sepertiga terakhir bulan Ramadhan, karena itulah yang pernah dilakukan
oleh Rasulullah, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits di atas.
Ibnu Hajar berkata, “…dalam hal itu menunjukkan bahwa permulaan
seseorang yang beri’tikaf memasuki tempat i’tikafnya ialah setelah
shalat Shubuh.”
41
Tidak Keluar Masjid Hendaklah tidak keluar kecuali untuk urusan yang
sangat penting dan tidak mungkin ditinggalkan. Ia tidak disunnahkan
menjenguk orang sakit, atau melayat jenazah sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits terdahulu, kecuali jika ia mensyaratkan hal-hal tersebut
ketika ia memulai beri’tikaf. Tidak Menyentuh Wanita Berdasarkan hadits
terdahulu, dan berdasarkan firman Allah, Janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri`tikaf dalam masjid. (Al-Baqarah [2]: 187).
Sungguh-sungguh Tujuan utama dari i’tikaf adalah agar seseorang bisa
berkonsentrasi untuk ibadah saja sambil menantikan datangnya lailatul
qadr seperti yang disebutkan Allah, Malam kemuliaan itu lebih baik
daripada seribu bulan. (Al-Qadr [97]: 3). Diriwayatkan, “Bahwasanya
Rasulullah jika telah memasuki sepuluh terakhir beliau mengencangkan
kainnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” Maksud
mengencangkan kain di sini ialah bersungguh-sungguh dalam beribadah atau
tidak mencampuri istrinya. Tidak Menyia-nyiakan Waktu Hendaklah
seseorang yang beri’tikaf memanfaatkan setiap kesempatan yang ia miliki
untuk beribadah, berdoa, membaca Al-Qur`an, istighfar, dzikir kepada
Allah Swt, shalat, berpikir, dan merenung. Janganlah menyia-yiakan waktu
dengan berbincang-bincang dengan teman dan hal-hal yang tidak ada
hubungannya dengan ibadah.* (Pambudi, dikutip dari buku Ensiklopedi
Etika Islam/Hidayatullah)
42